Sawit Turun: Bidnen SH Mengatakan Petani Sawit Bukan Budak, Mereka Tuan Pemilik Lahan Yang Mengelola

Bupati Rohil Afrizal Sintong (kiri), Bidnen SH (kanan)

Pekanbaru - Jeritan tangis petani sawit terhadap harga yang sudah sangat merugikan, pesan dari anak petani sawit Kampar Bidnen SH kepada Pemerintah, khususnya Provinsi Riau, Jumat (8/7/2022).

Pemerintah hendaknya memperhatikan secara khusus petani sawit. Mereka bukanlah budak dikampung sendiri, mereka tuan pemilik lahan mengolah lahan sawit lantas menjualnya.

Miris sekali kondisi saat ini, khususnya Riau yang komoditas pertanian terbesarnya adalah sawit.  Seperti peribahasa mati kelaparan di lumbung makanan.

Disini penulis menyampaikan, beberapa pengetahuan yang biasa dan wajib dilakukan setiap petani sawit dalam memperjuangkan kebunnya agar bisa menghasilkan buah dengan maksimal.

DITINJAU DARI POLA PUPUK
Sawit usia 10 tahun keatas biasanya 1 pohon sawit ditakar antara 1 sampai 2kg pupuk. Sementara lahan 1 hektar bisa berisi sawit berkisar 200 batang.

Secara garis besar pupuk yang digunakan dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu pupuk buah,daun dan batang, serta pupuk akar.

1. Pupuk untuk buah yang dikenal yaitu KCL,NPK, UREA. Aplikasi pada  lahan 1 hektar membutuhkan 5 (lima) karung berat 50kg, harga Rp650ribu/karung, jadi total harga pupuk Rp3,25jt. Penggunaan pupuk ini wajib dilakukan paling tidak setiap 3 (tiga) bulan sekali, artinya pengeluaran perbulan memakan biaya 1,25jt/bln.

2. Pupuk untuk daun seperti Kieserite, Aplikasi pada  lahan 1 hektar membutuhkan 5 (lima) karung berat 50kg, harga 300rb/karung, jadi total harga Rp1,5jt. Penggunaan pupuk ini wajib dilakukan paling tidak setiap 3 (tiga) bulan sekali, artinya pengeluaran rutin per-bulan Rp500ribu.

3. Sawit juga memerlukan Pupuk TSP  untuk akar sawit sehingga lebih lebat. Harga pupuk tersebut berkisar diantara Rp600ribu, untuk 1 hektar lahan sawit usia 10 tahun keatas membutuhkan setidaknya 5 karung berat 50kg. Jadi total pupuk TPS jangka 4bln senilai Rp3jt, artinya pengeluaran rutin per-bulan adalah sebesar Rp750ribu.

Melalui uraian diatas petani sawit memiliki biaya pengeluaran untuk pupuk saja berkisar Rp2,5jt perbulan.

Pengeluaran pupuk pada umumnya yg wajib digunakan saja sudah 2,5jt perbulan belum lagi jika sawit berkebutuhan khusus terserang penyakit dan juga kondisi tanah yang kurang baik pasti berdampak tingkatkan pengeluaran petani sawit pula.

Pemupukan tersebut harus rutin dan terjadwal, sebab jika tertunda di salah satu jenis pupuk saja sangat berdampak pada hasil sawit nya.

Sementara jika kita meninjau hasil sawit sekarang, rata-rata petani sawit untuk 1 hektar lahan dalam sebulan paling tinggi panen mencapai 2ton perbulan.

Harga sawit dilapangan berkisar Rp500 sampai Rp750 saja perkilonya. Artinya jika di harga Rp750 pendapatan kotor petani sawit hanya Rp1,5jt. Kondisi ini belum dipotong upah panen jika menggunakan pekerja, yang biasanya upah panen Rp150ribu pertonnya.

Jika pendapatan petani sawit untuk luas lahan 1 hektar dalam sebulan sekitar Rp1,5jt dikurangin biaya pupuk 2,5jt dan biaya panen Rp225ribu hasilnya (minus) -Rp775jt artinya petani sawit tumpur dan rugi besar.

Sangat heran jika pemerintah tidak memperhatikan itu. Seharusnya paling minimal harga sawit perkilo senilai Rp3000 baru memberi dampak yang lumayan normal kepada petani sawit.

Jika pemerintah tidak bisa menjaga harga standar, ini merupakan kebodohan dan akibatnya petani tersiksa. Belum lagi terkait harga pupuk yang kian naik mahal. Juga keterbatasan program pupuk subsidi di daerah tertentu masih tidak terealisasi.

Saya apresiasi pemerintah jika harga sawit minimal Rp3000 di seluruh daerah Indonesia khususnya Riau penghasil sawit tertinggi yang pabrik kelapa sawit swasta sangat banyak berkembang.

Tetapi jika terus berada dibawah ketidak pastian (tidak stabil/ kadang naik kadang turun) dan dibawah harga minimal Rp3000/kg, bisa saja ada permainan musiman oleh oknum-oknum jahat pencari keuntungan golongan atau pihaknya masing-masing.

Penulis: Bidnen SH