Garis Ideologis PDI-P, Partai Lain Hanya Sarat Pragmatis
Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia
Penulis: Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia
Satuju.com - Beberapa pekan terakhir ini wacana publik tercurah pada agenda politik pemasangan calon presiden-wakil presiden Pemilu 2023. Terkait pamasangan tersebut, ada sementara orang tertentu menengarai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ibarat bermain "dua kaki". Pandangan tersebut sangat tidak mendasar dan tidak mengenal partai PDI-P secara komprihenship.
Orang-orang tersebut mencoba membangun narsi seolah-olah PDI-P bermain "dua kaki", dengan mengatakan tidak bakal mendepak anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming, dari anggota partai setelah diusung menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto. Jika hal itu dilakukan oleh PDI-P maka dinilai bisa menutup peluang partai itu masuk kembali ke lingkar kekuasaan, jika pasangan Prabowo-Gibran memenangkan pemilu presiden (Pilpres) 2024, (kompas.com, 25 Oktober 2023).
Orang yang membangun narasi tersebut tidak memahami betul karakter politik PDI-P selama ini. Secara ideoligis, PDP-P mempunyai pendirian politik yang tegas, sebab partai ini lahir dan dibesarkan dari sebuah perjuangan kerja keras dengan tetesan air mata dan darah. Itu nyata.
Oleh karena itu, dari aspek komunikasi politik motif narasi yang dikembangkan oleh orang-orang tersebut bertujuan menggiring opini publik untuk kepentingan politik prakmatis. Katanya, jika Gibran tidak dipecat, PDI-P seolah bermain "dua kaki". Tapi kalau Gibran dipecat, kelompok kekuatan politik akan memainkan politik "bermain sebagai korban" sebagai orang yang dizolimi. Ini dapat disebut sebagai jebakan politik batman.
Saat ini Gibran sudah menjadi kenyataan politik sebagai calon wakil presiden yang diajukan sejumlah partai lain. Oleh karena itu, sebaiknya secara satria Gibran yang justru mengajukan mundur diri pihak awalnya.
PDI-P sangat jelas garis politiknya. Partai ini lahir sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru (Orba). Tidak satupun partai di Indonesia yang setegas dan seberani PDI-P. Sebaliknya, bahkan tidak jarang partai politik menunjukkan politik pragmatisnya.
Lihat saja Probowo dengan Partai Gerindranya, pada Pilpres 2019 mengambil posisi kompetitor bagi Jokowi yang diusung PDI-P. Pemilu 2019 PDI-P menang di Pileg dan Pilpres yang menjadikan Jokowi menjadi presiden dua periode.
Probowopun turun posisi dari kompetitor yang setara dengan Jokowi pada Pilpres 2019, rela dan serta merta menjadi pembantu Jokowi di pemerintahan. Justru sikap dan perilaku politik semacam ini belum mempunyai garis yang tegas secara ideologis. Sejatinya, Prabowo dan Partai Gerindra berada di luar kekuasaan sebagai oposisi bagi pemerintahan Jokowi.
Sebab, peran yang sama mulianya dengan pemerintah bagi rakyat. Oposisi bisa melakuksn kontrol terhadap kekuasaan. Tapi acapkali ada partai pllutik dan aktor politik tertentu masih lebih baik memilih "menghambakan" diri terhadap kekuasaan. Sikap dan perilaku politik semacam ini dipastikan merusak tatanan demokrasi kita di negeri ini yang diperjuangkan oleh komponen seluruh bangsa terutama gerakan mahasiswa tahun 1998 dengan tagisan dan air mata. Apalagi masih ada aktivis yang belum kita ketahui di mana rimbanya.
PDI-P bukanlah bagian yang berdiri di atas politik prakmatis. Lihat masa pemerintahan SBY dua periode, PDI-P mengambil garis yang tegas di posisi luar pemerintahan (opisisi). Oleh karena itu, partai ini berani nenjadi oposisi, dan mengabdi untuk rakyat ketika menjadi pemenang legislatif dan eksekutif, baik nenemoatkan kadernya sebagai kepala daerah dan presiden.

