OJK Sebut Tingkat Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah di Indonesia Sangat Rendah, Hanya 12,12 Persen

Ilustrasi

Jakarta, Satuju.com - Tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia masih sangat rendah. Hal tersebut disampaikan Kepala Grup Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muhammad Ismail Riyadi.

Melansir CNNIndonesia, Dia mengatakan demikian berdasarkan pengawasan berkala yang dilakukan OJK terkait literasi keuangan.

Kalau kita lihat survei OJK, Survei Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLIK) yang selalu dilakukan selama 3 tahun, tahun 2022 misalnya, gap antara tingkat literasi keuangan secara keseluruhan adalah 49 persen, keuangan syariahnya 9,14 persen. Jadi masih ada gap sekitar 40 persen,” ujar dia dalam workshop yang digelar di Bogor, Jawa Barat, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (28/10/2023).

Ia memberkan gap tersebut menunjukkan bahwa hanya ada 9 dari 100 orang yang benar-benar melakukan keuangan syariah.

Sedangkan tingkat inklusi keuangan syariah baru mencapai 12,12 persen, tertinggal jauh dari tingkat inklusi keuangan secara umum yang mencapai 85 persen.

OJK menilai ada sejumlah penyebab yang menyebabkan tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masih kecil.

Pertama ialah pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah masih rendah kendati kesadaran terhadapnya tinggi. Ismail pun menduga salah satunya adalah penggunaan istilah yang menggunakan bahasa Arab.

"Mungkin saya sering mendengar kenapa istilahnya akad-akadnya (jenis akad bank syariah) masih bahasa Arab, meskipun semua industri keuangan sekarang sudah menggunakan bahasa Indonesia. Akadnya itu digunakan di belakang saat harus menjelaskan projek maupun penandatanganan (perjanjian/kontrak) atau memahami (transaksi) ). Itu salah satu contohnya," ungkap Ismail.

Penyebab kedua, ujar dia, terkait diferensiasi proses yang terjadi di dalam masyarakat ketika konfrontasi pada produk-produk keuangan syariah dan konvensional yang sejenis.

Perbedaan tersebut muncul, katanya, karena individu memiliki reaksi berbeda terhadap produk keuangan syariah dan konvensional. Ada yang menerima produk keuangan syariah dengan sifat yang lebih rasional (berdasarkan keyakinan agama), ada pula yang lebih setia (loyal) pada produk konvensional atau ada yang masih membandingkan produk syariah dengan produk konvensional.

Menurut dia, produk perbankan syariah memiliki banyak variasi dalam bentuk akad (perjanjian) yang digunakan jika dibandingkan dengan produk konvensional. Namun tantangan yang harus diatasi adalah cara menghadapi perbedaan preferensi individu dan mendidik masyarakat tentang produk keuangan syariah untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah.

Ketiga yaitu kompetensi sumber daya insani di industri keuangan syariah yang harus ditingkatkan. Ismail mengatakan meski banyak perguruan tinggi dan lulusan ekonomi syariah, namun kebutuhan industri yang semakin tinggi menuntut pengembangan kapasitas sumber daya manusia di industri keuangan syariah.

“Kemudian (penyebab selanjutnya) dari sisi produk dan layanan, pemanfaatan teknologinya belum optimal, serta aspek regulasi dan permodalan yang belum mendukung,” ucapnya.