Dari Imam Al-Ghazali, Ini Kunci Hidup Bahagia dan Nyaman
Imam Al-Ghazali
Satuju.com - Bahagia merupakan perasaan emosional seseorang yang memberikan dampak positif bagi siapa pun.
Beberapa orang mendefinisikan kebahagiaan itu identik dengan kepemilikan harta benda. Meskipun kita tidak memungkiri, bahwa kepemilikan harta benda dapat menyebabkan kita merasa bahagia.
Namun sebenarnya faktor kepemilikan harta benda hanya salah satu faktor penyebabnya. Masih banyak faktor lain yang membuat manusia bahagia.
Terkadang kita melihat, sisi-sisi materialistik nyata-nyata tidak membuat manusia bahagia. Banyak faktor, yang meskipun sifatnya bukan material, namun bisa menyebabkan kita merasa bahagia.
Hal ini terungkap salah satu ulama yang dijuluki hujjatul Islam (Pembela Islam), yakni Imam al-Ghazali menjelaskan perihal penyebab manusia bisa bahagia.
Dalam salah satu karyanya yang berjudul Kimya'us Sa'adah (Kimia Kebahagiaan). Dalam kitab ini Al-Ghazali menjelaskan perihal kebahagiaan sejati.
Berkaitan dengan kebahagiaan, Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya'us Sa'adah mengungkapkan, kebahagiaan bisa diraih ketika bertemunya anggota tubuh dengan sesuatu yang "satu server" di dekatnya. Ia mengungkapkan:
Artinya, “Maka kenikmatan/kebahagiaan mata itu ketika melihat pemandangan yang indah, kebahagiaan telinga ketika mendengar suara-suara merdu, begitu pun dengan anggota tubuh lain dengan karakter yang seperti ini.” (Imam Al-Ghazali, Kimiyaus Sa'adah [Kairo: Darul Muqattam, 2010] halaman 41).
Menurut Imam al-Ghazali, ada bagian lain yang tidak boleh dilupakan, yaitu hati. Sebagaimana anggota tubuh lainnya, hati juga akan merasakan kebahagiaan ketika bertemu dengan sesuatu yang "satu frekuensi" dengannya, yaitu ma'rifatullah (mengetahui Allah), karena hati memang diciptakan untuk demikian.
Al-Ghazali mengumpamakan, ketika seseorang belum memahami tentang catur atau mungkin aplikasi game di zaman sekarang, dia akan merasa biasa saja. Namun ketika orang tersebut sudah mengerti sistem dan pola permainannya, dia akan merasa bahagia dan menikmati bahkan bisa menghabiskan waktu dengan game tersebut.
Begitu pun dengan hati, ketika hati belum ma'rifat, bisa jadi akan menganggap Allah dan ajaran-Nya dengan biasa saja. Namun ketika sudah berhasil menggapai ma'rifatullah, dia akan merasa nikmat, bahagia, dan ingin selalu bersama-Nya. Inilah kebahagiaan sejati yang tidak akan terombang-ambing oleh dinamika kehidupan di dunia ini.
Imam al-Ghazali melanjutkan, kebahagiaan mata ketika melihat sesuatu yang indah, kebahagiaan telinga ketika mendengar suara yang merdu, kebahagiaan hidung ketika mencium aroma wangi, dan sejenisnya, semua itu bersifat sementara dan pada akhirnya akan sirna, terlebih ketika ajal tiba.
Sementara kebahagiaan hati ketika ma'rifat, itu akan berlangsung lama bahkan sama sekali tidak akan terganggu dengan datangnya kematian. Sebaliknya, kebahagiaan itu akan semakin meningkat ketika ajal tiba karena kematian menjadi pintu gerbang untuk bisa bertemu langsung dengan-Nya.
Untuk meraih ma'rifat, masih dalam kitab Kimiyaus Sa'adah, Imam al-Ghazali menyebut langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui diri sendiri berikut instrumen yang menyertainya. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 53:
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Al-Qur’an) itu adalah benar.”
Selanjutnya, Imam al-Ghazali pun mengutip sebuah perkataan yang cukup masyhur dan memiliki makna yang dalam bagi seorang hamba Allah, yaitu sebagai berikut:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Artinya: “Siapa saja yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”
Imam al-Ghazali menekankan, maksud “mengenal” di sini tidak pada organ tubuh yang bersifat fisik, seperti kaki, tangan, mata, telinga, dan seterusnya. Akan tetapi lebih dari itu, yaitu seorang salik mesti mengenali dimensi batin yang ada dalam dirinya sendiri. Imam al-Ghazali mengatakan:
وقد جمعت في باطنك صفات: منها صفات البهائم، ومنها صفات السباع، ومنها صفات الشياطين، ومنها صفات الملائكة،
Artinya: “Sungguh telah berkumpul dalam batinmu sejumlah sifat, di antaranya adalah sifat binatang, hewan buas, setan, dan malaikat.” (Imam Al-Ghazali, Kimiyaus Sa‘adah, halaman 24).
Dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali, sifat-sifat yang bersemayam dalam diri manusia tersebut mempunyai selera bahagia yang berbeda-beda, kebahagiaan binatang adalah ketika makan, minum, tidur, dan bersetubuh. Bagian terbaik dari binatang buas adalah berkelahi, menyerang, dan membunuh. Bagian bahagianya setan adalah melakukan tipu daya, dusta, dan kejahatan.
Semua karakter tersebut, kata Imam Ghazali, telah bersemayam dalam diri manusia. Imam Ghazali kemudian menyindir, jika kita termasuk golongan binatang, hewan buas, atau setan, maka perbanyaklah melakukan hal tersebut. Namun perlu diingat bahwa kebahagiaan yang demikian bersifat sementara, bahkan dapat merugikan kita di dunia maupun di akhirat.
Sebaliknya, kebahagiaan malaikat itu adalah ketika menyaksikan keindahan Tuhan. Hal demikian karena malaikat sepenuhnya terbebas dari karakter binatang maupun setan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, untuk menonjolkan karakter malaikat dalam diri seseorang adalah dengan mengendalikan hawa nafsu serta karakter binatang dan setan yang ada di dalam dirinya.
Dengan demikian, kebahagiaan sejati menurut Imam Ghazali adalah ketika seseorang mampu mencapai ma'rifatullah. Hal itu bisa dicapai dengan cara mengendalikan hawa nafsu dan menurunkan ketegangan berupa karakter binatang dan setan yang ada dalam dirinya. Ketika sudah mencapai kondisi seperti itu, maka hatinya bisa terkoneksi dengan “wifi semesta” yang pada akhirnya bisa menyaksikan keindahan Allah. Wallahu a'lam.

