Ketum Partai Harus Bernyali Tinggi Bukan Pecundang

Ilustrasi

Penulis: Romansen Purba & Emrus Sihombing, Dua Komunikolog Indonesia

Satuju.com - Dalam suatu negara yang demokratis, semua ketua umum partai harus bernyali tinggi dan kuat berkuasa di kekuasaan yudikatif maupun eksekutif. Dengan demikian, politik dan elitnya bisa/mampu melakukan pengawasan dan membuat undang-undang partai yang harus ditaati oleh lembaga penegak hukum dan Presiden sebagai eksekutif eksekutif. Bukan malah pecundang.

Namun, mengapa akhir-akhir ini para ketua umum, sekretaris jenderal partai dan pengurusnya seolah tidak berdaya mengahadapi pengaruh kekuasaan yudikatif dan eksekutif yang tampaknya hampir masuk ke seluruh aspek kehidupan, baik di politik maupun bidang kehidupan lainnya. Bahkan eksekutif seolah mendominasi kekuasaan, termasuk kekuasaan di bidang penegakan hukum. Ironis sekali.

Para ketua partai yang tampaknya "dianggap" bermasalah dengan dugaan tindak pidana kasus korupsi, boleh jadi sengaja tidak diproses tetapi diamkan dan digantung seolah-olah tidak ada kasus. Sebaliknya, kasus lain yang melibatkan sosok yang tidak patuh kepada kekuasaan seolah-olah dikedepankan untuk diungkap.

Cara ini bisa jadi dipakai penguasa untuk menekuk lawan-lawan politiknya, ketua partai politik dibonsai, ditekuk habis-habisan membuat mereka tidak berdaya menghadapi cengkraman penguasa sehingga tidak mau harus tunduk dan menghamba kepada kekekuasaan. Oleh karena itu, partai "dipaksa" mengikuti "si raja". Si "raja" itupun diakui dan disanjung oleh salah satu ketua umum partai.

Karena lawan politik sudah dilemahkan sehingga kebijakan dan keputusan apapun yang diambil penguasa, seolah-olah benar semua. Cenderung bebas melakukan apa saja pun dianggap sah, meski sudah melenceng dari cita-cita founding fathers, nilai Pancasila dan konstitusi.

Negara menjadi terkesan “kacau”, terutama dalam masalah penegakan hukum. Cirinya, undang-undang dan peraturan bisa berubah seiring waktu jika itu menguntungkan kekuasaan. Tidak perduli apakah itu bertentangan dengan ideologi dan konstitusi negara.

Bahkan dengan cara "cerdas", kalau tidak mau disebut licik, dibangun narasi dengan memanfaatkan sejumlah (sedikit) pembaca "murahan" sehingga kebijakan, peraturan dan undang-undang seolah-olah berpihak pada rakyat. Padahal kenyataannya tidak demikian. Berpihak kepada keinginan penguasa. Salah satu narasi yang dibangun, kalau tidak suka jangan pilih. Tentu saja narasi semacam itu dapat memanipulasi persepsi masyarakat dan mematikan daya kritis berpikir rakyat. Sangat terbengkalai.

Demikian juga fungsi legislatif, tampaknya bukan lagi sebagai dewan perwakilan rakyat tetapi bisa berubah menjadi dewan perwakilan penguasa, ketundukan pada keinginan penguasa. Lebih dalam lagi, berubah menjadi alat stempel kekuasaan daripada eksekutif/pemerintah. 

Di sisi lain, penguasa sering bersilat lidah sebagai tindakan pembenaran, meskipun secara kasat mata untuk meloloskan hasrat politik kekuasaan keluarga, anak-anak, mantu dan kroninya. Aturan dan hukum dibuat untuk menguntungkan pihak penguasa dan kelompoknya. Dari sini saja tercermin dan dapat dilihat bahwa penguasa itu sedang membangun dinastinya.

Untuk tujuan membangun dinasti yang memunculkan narasi secara terstruktur, masif dan sistematis dengan pengkhultusan, seolah-olah keberhasilan pembangunan ini karena keberanian dan kemampuan pimpinan eksekutif tertinggi untuk mengeksekusinya, padahal itu klaim sepihak dari mereka yang mendompleng kekuasaan. 

Masalah yang ada tidaknya pembangunan tentu dari sudut pandang mana yang melihatnya. Bisa saja pembangunan itu kinerja produk negara tetapi ditopang utang yang terus bertambah. Padahal, adanya pembangunan itu sudah menjadi tugas seorang pemimpin. Sebab itu maksudnya perlunya pemilihan umum yang sangat-sangat demokratis. Jadi, dengan mengedepankan substansi demokratis, bukan demokrasi seolah-olah yang penuh kepalsuan.