Soal Pelemahan KPK, Nawawi Pomolango Singgung Laporan Majalah Tempo: Ada Benarnya

Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango

Jakarta, Satuju.com - Pelemahan di tubuh lembaga saat ini diakui Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango. Dia menilai laporan Majalah Tempo tentang Pelemahan KPK ada benarnya.

“Gelombang pelemahan KPK ada di Majalah Tempo, saya rasa ada benarnya,” kata Nawawi di acara Media Gathering di Puncak Bogor, pada Kamis, 12 September 2024.

Dalam kesempatan itu, Nawawi menyoroti laporan Majalah Tempo edisi Nawadosa Jokowi. Ia tak menyangkal bahwa ada upaya pelemahan KPK.

Dalam laporan Majalah Tempo disebutkan masalah loyalitas dalam rapat dengar pendapat Komisi Bidang Hukum Dewan Perwakilan Rakyat bersama pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin, 1 Juli 2024.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengeluhkan perilaku pegawai komisi antirasuah yang kerap menghambat penanganan perkara. Permintaan pimpinan KPK sering ditolak pegawai. “Saya tak tahu penyelidik dan penyidik ​​KPK sekarang setia kepada siapa,” ujarnya.

Semua penyidik ​​dan penyelidik KPK bernaung di bawah Kedeputian Penindakan. Peran mereka cukup strategis karena ikut menentukan status hukum seseorang. Kedeputian Penindakan selama ini dipimpin oleh polisi berpangkat inspektur jenderal.

Personilnya berasal dari Kepolisian RI dan lembaga hukum lain, seperti Kejaksaan Agung, juga Badan Pemeriksa Keuangan dan Kementerian Keuangan. Ada juga penyidik ​​dan penyelidik independen, namun mereka sering mengemban tugas fungsional. Beragam latar belakang ini yang menjelaskan loyalitas Alex perihal tersebut.

Penyidik ​​dan penyelidik kebanyakan berasal dari Korps Bhayangkara yang bertugas melalui persetujuan Kepala Polri. Masa pegawai utusan berbagai lembaga itu juga terbatas. Jika masa tugas berakhir, para pegawai itu akan kembali ke instansi masing-masing. Masalahnya, sekarang mereka sering tidak patuh pada pimpinan KPK. “Jika mereka lebih setia kepada pimpinan instansi asalnya, itu sangat manusiawi,” ucap Alex.

Kewenangan pimpinan KPK luruh saat revisi Undang-Undang KPK disahkan di Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 17 September 2019. Sebelumnya, Pasal 21 Undang-Undang KPK menyebutkan pimpinan KPK menjabat sebagai penanggung jawab tertinggi sekaligus penyidik ​​dan penyelidikan umum. Peran tersebut dicoret setelah revisi Undang-Undang KPK diberlakukan.

Pimpinan KPK hanya disebut sebagai pejabat negara. Undang-Undang KPK hasil perubahan juga menyebutkan komisi antirasuah menjadi rumpun eksekutif yang semua pegawainya berstatus pegawai negeri. Padahal, sebelum disetujui, revisi Undang-Undang KPK disebut Presiden Joko Widodo bertujuan memperkuat KPK.

Melemahnya daya cengkeram pimpinan KPK justru membuat proses penyelidikan dan penyidikan karut-marut. Contohnya saat KPK menangani kasus korupsi yang disebutkan Bupati Sidoarjo, Jawa Timur, Ahmad Muhdlor Ali pada pertengahan Februari 2024.

Mulanya sejumlah petinggi Kedeputian Penindakan ngotot kasus ini akan diserahkan kepada Polri karena nilai barang bukti yang disita dianggap terlalu kecil. Baru tiga bulan kemudian Muhdlor Ali ditetapkan sebagai tersangka.

Sejumlah penyidik ​​yang ditemui Tempo pernah menceritakan kesulitan pimpinan KPK memperkarakan kembali mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej. Eddy lolos dari status tersangka setelah gugatan praperadilannya dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Januari 2024.

Hingga kini, penyidik ​​tak menggubris perintah pimpinan KPK untuk menyiapkan kembali surat perintah penyidik ​​untuk Eddy Hiariej. Tarik-menarik kepentingan antara personel Kedeputian Penindakan dan pimpinan KPK juga terlihat pada penanganan kasus korupsi proyek kereta api Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan. Gara-garanya, salah seorang pelaku disebut memiliki hubungan baik dengan petinggi Polri dan Kedeputian Penindakan.

Kondisi yang sama terlihat saat KPK menangani Kasus korupsi Formula E yang menyeret mantan Gubernur Jakarta, Anies Rasyid Baswedan. Kasus itu disebut bernuansa politik karena menjelang pemilihan presiden 2024.