Berdampak ke Sektor Keuangan, Ini Akibat Deflasi 4 Bulan berturut-turut
Ilustrasi
Jakarta, Satuju.com - Terkait terjadinya deflasi selama 4 bulan terakhir terhadap sektor keuangan, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae, mengatakan OJK selalu mewaspadai.
Perbankan juga selalu mewaspadai adanya faktor lain yang mengakibatkan terjadinya deflasi, kata Dian di Jakarta, Senin (16/9/2024).
OJK pun berharap bahwa dampak deflasi tersebut tidak akan terlalu signifikan terhadap aktivitas ekonomi dan kinerja perusahaan sebelumnya.
Dian menyampaikan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) inflasi berada pada tren menurun secara year-on-year, dan jika dilihat secara bulanan, telah terjadi deflasi selama 4 bulan terakhir (sejak Mei 2024).
“Di sisi lain meskipun terjadi deflasi, namun inflasi inti masih tetap meningkat,” ujarnya.
Menurut BPS, deflasi tersebut didorong oleh sisi penawaran, khususnya akibat penurunan harga makanan, minuman dan tembakau.
Di sisi lain, saat ini kredit perbankan masih tumbuh tinggi mencapai 12,4% (yoy), dengan tingkat profitabilitas yang terjaga dan tingkat permodalan yang kuat.
Di sisi lain, OJK optimis dengan menurunnya suku bunga global, aktivitas ekonomi global juga bisa meningkat sehingga berdampak pada pergerakan perekonomian domestik.
“Seiring dengan menurunnya suku bunga global, kita berharap aktivitas ekonomi global juga dapat meningkat dan berdampak pada pergerakan roda perekonomian yang lebih baik,” tutupnya.
Sebelumnya, Ekonom Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita, menilai risiko dari deflasi yang berkelanjutan dalam empat bulan adalah penurunan tingkat konsumsi rumah tangga.
Sehingga sangat berpotesi akan menekan angka pertumbuhan ekonomi di kuartal III tahun ini, karena kontribusi konsumsi rumah tangga sangat besar kepada pertumbuhan ekonomi nasional.
Risiko lanjutanya yakni prospek investasi untuk beberapa sektor yang terkait dengan konsumsi rumah tangga dan daya beli sehari-sehari masyarakat akan memburuk di satu sisi. Bahkan berpotensi terjadinya PHK alias gulung tikar, misalnya untuk sektor consumer good, manufaktur, terutama tekstil, dan properti.
"Prospek investasi untuk sektor-sektor ini akan menurun. Karena para investor akan berfikir panjang untuk melakukan ekspansi bisnis atau investasi baru di sektor ini, karena prospek pasarnya memburuk," kata Ronny kepada Liputan6.com, Selasa (3/9/2024).
Sementara di sisi lain, dampak deflasi yang berturut-turut ini sudah imbasnya di sektor manufaktur yang eksis, aktivitas bisnis mereka terus tertekan. Kemudian, sebagian tenaga kerja akhirnya harus di "lay off" atau pemutusan kerja.
Namun kata Ronny, jika dilihat dari positifnya yakni untuk masyarakat umumnya penurunan harga baik untuk kantong, setidaknya tidak menekan daya beli, sehingga bisa tetap memdapatkan volume barang dan jasa setara dengan empat bulan lalu, karena harga cenderung stagnan.
Tetapi minusnya seperti yang dijelaskan di atas, kurang bagus secara makro, karena berimbas langsung kepada pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan, pengangguran, dan kemiskinan.
Oleh karena itu, ia menyarankan, yang harus dilakukan pemerintah, pertama, melakukan intervensi dari sisi kebijakan sosial kesejahteraan dalam berbagai bentuk dan jenis agar bisa membatu daya beli masyarakat tidak semakin turun.
Kedua, melakukan berbagai macam terobosan agar tidak terjadi perluasan PHK di satu sisi dan mendorong percepatan pembukaan lapangan kerja baru dengan menstimulasi investasi baru di sisi lain.
"Logikanya sederhana saja. Semakin banyak lapangan pekerjaan yang terbuka, semakin banyak mayarakat yang berpendapatan, sehingga semakin banyak masyarakat yang mengosumsi barang dan jasa, lalu permintaan naik, prospek usaha dan investasi meningkat yang akan mengundang semakin banyak investasi baru, karena prospek permintaan semakin naik," pungkasnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) buka-bukaan soal penyebab deflasi selama empat bulan berturut-turut di sepanjang 2024. Indonesia mengalami deflasi sejak Mei hingga Agustus 2024. Per Agustus 2024, BPS melaporkan deflasi 0,03 persen.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menjelaskan, Indonesia mengalami deflasi empat kali berturut-turut ini disebabkan oleh faktor melimpahnya pasokan atau supply side. Terkait dugaan fenomena pelemahan daya beli masyarakat , dia menyebut perlu ada kajian yang lebih mendalam.
“Saya tegaskan kembali bahwa fenomena deflasi 4 bulan ini lebih ditunjukkan dari sisi supply, artinya masih terjadi di sisi penawaran. Jika hal ini (deflasi) kemudian (dipengaruhi) pada pendapatan masyarakat maka kita perlu gaji lebih lanjut untuk bisa membuktikan asumsi tersebut,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers di Gedung BPS Pusat, Jakarta, Senin (2/9/2024).
Dia menjelaskan, tren deflasi hingga Agustus 2024 didukung oleh sisi penawaran atau supply side. Yakni, andil deflasi di sumbang karena penurunan harga pangan seperti produk tanaman pangan kemudian hortikultura dan peternakan.
Kondisi ini disebabkan karena biaya produksi yang terus menurun. Penurunan biaya produksi ini berdampak pada harga di tingkat konsumen juga ikut turun.
“Nah ini juga karena seiring dengan adanya panen raya ya, sehingga pasokannya melimpah dan akibatnya harganya juga ikut turun,” beber dia.

