Pengangguran Merajalela, Gelar Sarjana Tak Jamin Mudah Dapat Kerja
Ilustrasi
Jakarta, Satuju.com - Angka kemiskinan di Indonesia menampilkan tren yang menarik selama satu dekade terakhir, terutama jika kita menggambarkan sarjana perguruan tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah sarjana yang menganggur terus menjadi sorotan.
Pada tahun 2014, tercatat ada 495.143 penganggur dari kategori lulusan universitas. Angka ini melonjak tajam hingga mencapai 981.203 orang pada tahun 2020, sebelum akhirnya sedikit menurun menjadi 842.378 orang pada tahun 2024.
Tren ini menunjukkan bahwa meskipun pendidikan tinggi sering dianggap sebagai jalan keluar dari kemiskinan, kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam kurun waktu 2014 hingga 2020, jumlah kemiskinan sarjana meningkat hampir dua kali lipat.
Pandemi Covid-19 pada tahun 2020 menjadi salah satu penyebab terbesar, ketika dunia kerja lumpuh dan banyak perusahaan diwajibkan mempekerjakan rekrutmen. Meski angka pasca-pandemi ini mulai menurun, penurunan tersebut tidak cukup signifikan untuk menghapus bayang-bayang ancaman kemiskinan
Jika dibandingkan dengan lulusan SMA (SLTA Umum), jumlah kemiskinan di tingkat ini memang lebih besar secara absolut, yakni mencapai 2.513.481 pada tahun 2023.
Namun, tingkat kompetisi di lapangan pekerjaan untuk lulusan SMA cenderung berbeda. Banyak dari mereka yang masuk ke sektor informal atau pekerjaan dengan keahlian berbeda, di mana kualifikasi tinggi tidak selalu menjadi prioritas.
Sebaliknya, lulusan universitas sering kali terjebak dalam “aspirational mismatch,” yaitu kondisi di mana ekspektasi terhadap pekerjaan tidak sesuai dengan kenyataan yang tersedia di pasar kerja. Hal ini membuat para sarjana lebih lama menganggur dibandingkan lulusan SMA atau bahkan lulusan diploma.
Lulusan akademi atau diploma, di sisi lain, menunjukkan tren yang lebih stabil dibandingkan sarjana. Pada tahun 2014, jumlah penganggur dari kategori ini tercatat sebanyak 193.517 orang. Meski sempat meningkat menjadi 305.261 pada tahun 2020, angka ini kembali turun ke 170.527 pada tahun 2024. Stabilitas ini bisa dikaitkan dengan program pendidikan diploma yang lebih fokus pada keterampilan dan kebutuhan praktis industri.
Ada beberapa alasan yang mendasari tingginya angka kemiskinan sarjana di Indonesia seperti ketidakcocokan keahlian dan juga Fenomena "kesenjangan upah reservasi," di mana lulusan memilih menunggu pekerjaan yang dianggap ideal dan juga akses ke peluang kerja yang relevan.
Untuk menurunkan angka kemiskinan sarjana, pendekatan pendidikan tinggi di Indonesia harus berubah. Perguruan tinggi perlu lebih fokus pada pengembangan keterampilan praktis dan kerja sama dengan dunia industri. Selain itu, perlu mempertimbangkan pentingnya membangun ekosistem kewirausahaan di kalangan pelajar agar mereka tidak hanya bergantung pada pekerjaan formal.
Tingginya angka kemiskinan di kalangan sarjana menunjukkan perlunya langkah konkret dari semua pihak. Dengan mengurangi kesenjangan keahlian, membuka lebih banyak akses terhadap pekerjaan, dan mendorong inovasi di sektor pendidikan, harapan untuk mengurangi kemiskinan sarjana bukanlah hal yang mustahil.

