Pengamatan Picek Bahayakan Banyak Orang
Ilustrasi
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satju.com - Proses hukum yang akan dihadapi Hasto masih panjang. Ketimbang koar-koar narasi politisasi, sebaiknya PDIP menyiapkan bukti-bukti yang bisa memenangkan Hasto di konferensi kelak. Kenapa jadi kebakaran jenggot? Santai saja, ya.
Lebih lanjut, sang pengamat menyatakan bahwa PDIP harus menghormati proses hukum yang sedang berjalan, seraya meyakini bahwa lembaga antirasuah sudah bekerja secara profesional dalam mengusut kasus Harun Masiku.
“PDIP harus menghormati KPK. Apa yang diputuskan oleh KPK ya harus dihormati.
Namun, saran para pengamat cukup aneh, bahkan nyaris buta dari perspektif alasan hukum:
PDIP pastinya sebuah partai, namun ditanyakan apakah tidak yakin politik? Padahal, politik tidak dapat dipisahkan dari hukum (politik hukum).
Bagaimana bisa KPK dinyatakan profesional, sedangkan saat ini baru mulai mengungkap tuduhan keterlibatan Hasto sebagai Sekjen PDIP? KPK sebenarnya sudah menetapkan status tersangka (TSK), namun hingga saat ini masih terbebani mencari alat bukti yang cukup untuk diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tipikor.
Pembelaan diri berdasarkan dalil hukum kepada publik dan media adalah bentuk ekspresi hukum terhadap publikasi KPK yang juga dilakukan melalui media.
Profesi pengamat hukum yang tajam dan kritis merupakan salah satu kegiatan ilmiah yang halal di negara demokrasi. Selebihnya, narasi yang disampaikan adalah implementasi kebebasan berpendapat serta peran serta masyarakat dalam menyumbangkan ilmu pengetahuan hukum. Namun, tidak etis apabila perspektif yang digunakan skeptis dan subjektif, terutama terkait tata cara pelaksanaan hukum yang seharusnya selalu bersandar pada asas legalitas dan legal standing penegak hukum (procedures for implementing the law), bukan justru menjadi alat untuk menyesatkan hukum.
Khusus dalam perspektif yang menjustifikasi pola kerja KPK, sering kali sistem hukum yang diterapkan tidak sesuai dengan sistem hukum yang berlaku (ius constitutum). Sebaliknya, KPK cenderung menggunakan pola sungsang, mirip dengan metode politik hukum (diskresi) Jokowi yang riil tebang pilih dan suka-suka (behavioral factors). Realitas menunjukkan adanya gejala faktor notorious (keburukan), sebab KPK banyak mempraktikkan transparansi proses hukum dengan pola pembiaran (sengaja dibuat stagnan) terhadap berbagai laporan publik kepada KPK terkait Gibran, Kaesang, dan Bobby. Stagnasi ini dilakukan dengan alasan hukum yang terkesan mengada-ada, sehingga menimbulkan dugaan adanya intervensi terhadap KPK sebagai bentuk obstruksi demi melindungi keluarga dan kongsi (oligarki) Jokowi. Padahal, KPK seharusnya menolak segala bentuk intervensi atau keberpihakan.
Kenapa justru perilaku KPK yang semau-maunya ini tidak disentuh oleh pengamat Hudi Yusuf? Publik telah mengetahui rekam jejak KPK, tetapi yang terjadi justru sebaliknya: KPK sibuk merekayasa kasus bakal calon wakil presiden (Gibran dan Kaesang) yang terindikasi korupsi (gratifikasi dan money laundering), sementara KPK berupaya menganulir tanpa dasar hukum terkait reward Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan keuangan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta yang telah diberikan oleh BPK setiap tahunnya selama lima tahun berturut-turut. Seharusnya, hasil audit BPK menjadi rujukan bagi KPK.
Terkait tuduhan KPK soal suap yang diterima Hasto (gratifikasi), meskipun penerima suap dalam putusan yang inkracht menyatakan "tidak pernah menerima uang atas nama Harun Masiku," justru Hasto dikenakan pasal obstruksi dengan status resmi sebagai tersangka (TSK) dalam kasus korupsi?
Berapa nominal kerugian keuangan negara? Berapa nilai suapnya? Ternyata KPK belum mendapatkan kepastian mengenai total kerugian negara atau jumlah total suap. KPK belum akuntabel sesuai ketentuan undang-undang dan baru sebatas estimasi yang masih obscur (tidak jelas), sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 Ayat (1) UU KPK juncto Pasal 5 Angka 4 UU Nomor 28 Tahun 1999.
Faktanya, hingga kini KPK masih sibuk mencari alat bukti sebagai dasar penetapan status tersangka terhadap Hasto, padahal unsur-unsur hukum yang mendasari status tersangkanya tidak terpenuhi (prematur) sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dari perspektif sejarah dan sosiologi hukum, penetapan tersangka terhadap Hasto tampak tergesa-gesa, meskipun kasus ini sudah berjalan selama lima tahun sejak Januari 2020. Hal ini yang membuat mantan Presiden ke-5 sekaligus Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, pantas merasa kesal dan lantang membela Hasto sebagai Sekjen. Sikap Megawati mencerminkan karakteristik kepemimpinan yang menjadi representasi partai secara ideal, melalui komunikasi publik yang mencerminkan totalitas dan moralitas seorang pemimpin.
Seharusnya, para pengamat dari universitas menyaksikan fenomena serta gejala praktik penegakan hukum oleh KPK yang tebang pilih. KPK justru mengerdilkan sistem hukum dengan perilaku yang pada hakikatnya merupakan bentuk obstruksi dalam fungsi dan kewenangannya. Lantas, mengapa Hudi Yusuf justru menjustifikasi KPK seolah-olah bertindak sesuai dengan koridor hukum?
Kenapa sebagai pengamat terlihat picek atau buta, tidak memperbarui informasi, seolah cukup menggunakan kacamata subjektivitas dalam menilai kinerja KPK? Oleh karena itu, "pengamat buta" seperti ini akan berimplikasi negatif dan membahayakan publik secara luas.
Namun, jika subjektivitas disampaikan secara kritis dengan menggunakan analogi serta ilustrasi yang disusun secara objektif dan positif, maka hal itu dapat diterima.
Secara moralitas, pengamat "picek" berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) seseorang, dalam hal ini Hasto Kristiyanto, yang radikal melawan tanpa apriori. Sebaliknya, ia melawan dengan segudang data dan bukti empiris bahwa dirinya telah dikriminalisasi atau menjadi korban character assassination. Jika Hasto tidak melawan secara radikal, maka ia bisa saja berakhir di penjara.
Memenjarakan seseorang secara melawan hukum adalah pelanggaran berat karena dampaknya mencakup kerugian lahir dan batin. Oleh karena itu, disarankan kepada pengamat Hudi Yusuf agar tidak berkelakar tentang hukum tanpa dalil yang kuat, hanya menggunakan argumentasi picisan dan subjektif semata.
Kausalitas pola pengamatan model picek akan menghasilkan kualitas analisis yang zonk, bahkan dapat menimbulkan tuduhan publik bahwa pengamat memiliki kepentingan politik pragmatis untuk sekadar melemahkan citra PDIP di mata kader, simpatisan, serta publik secara umum, termasuk berdampak negatif terhadap Megawati dan para elite politik setia PDIP.
Pengamat politik dan hukum yang bijak serta objektif tidak akan melupakan sejarah hukum dan kaitannya dengan pelanggaran hukum oleh figur-figur tertentu. Jika pengamat tidak menyadari atau bahkan tidak tahu peristiwa makar konstitusi serta subjek hukum pelakunya, maka publik akan menyebut pengamat tersebut sengaja "membutakan sejarah politik hukum."
Seharusnya, para ahli hukum mendukung upaya membersihkan KPK dari sisa peninggalan yang dilakukan Jokowi yang kotor, sebagaimana fakta sosial yang telah menjadi pengetahuan umum.
Saran: hendaknya para pakar hukum (pengamat, akademisi, advokat, dan aktivis) mendorong reformasi hukum terhadap sistem hukum (UU Tipikor) dan memperketat persyaratan rekam jejak calon komisioner KPK agar terbebas dari kepentingan politik tertentu.

