Danantara dan Audit BPK: Kekhawatiran akan Independensi dan Dampaknya
Ilustrasi Danantara: Lompatan Besar atau Sekadar Mimpi Besar?-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway
Jakarta, Satuju.com – Isu terkait audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Danantara menimbulkan kesan bahwa perusahaan tersebut takut diaudit. Namun, menurut pengamat kebijakan publik, kekhawatiran utama bukan pada ketelitian atau ketatnya audit BPK, melainkan pada independensi lembaga tersebut.
"Takutnya bukan di situ. Takutnya tuh di sini: BPK tidak independen. Takut BPK dipakai penguasa untuk memidanakan direksi perusahaan negara, termasuk Danantara. Yang seperti itu sering terjadi di perusahaan BUMN," ujar seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya.
Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2025 bertujuan menghindari kekhawatiran tersebut. UU ini mengkategorikan kerugian di Danantara sebagai kerugian korporasi, bukan kerugian negara. Dengan demikian, BPK tidak lagi memiliki kewenangan untuk memeriksa perusahaan tersebut. Sebagai kompromi, audit tetap dilakukan oleh kantor akuntan yang diakui oleh BPK.
Namun, apakah ini berarti Danantara menjadi kebal hukum? Para ahli menegaskan bahwa hal tersebut tidak benar. "Pasti tidak. Jangan khawatir. Tidak ada yang boleh kebal hukum di negara hukum seperti Indonesia ini -- teorinya begitu," kata seorang pakar hukum.
Jika terdapat pengaduan masyarakat terkait tindak pidana di Danantara, penegak hukum seperti kejaksaan, KPK, atau kepolisian tetap dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Bedanya, pasal yang digunakan bukan lagi terkait "kerugian negara," melainkan pasal terkait fraud atau kriminalitas.
Namun, masih ada keraguan mengenai efektivitas UU No. 1/2025, terutama jika terjadi pergantian pemerintahan. "Saya tidak yakin. Terutama ketika pemerintah berganti. Lebih-lebih kalau penggantinya bukan 'penerusnya'," ujar seorang analis politik, mencontohkan pergantian pemerintahan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Presiden Joko Widodo.
Selain itu, UU Keuangan Negara masih berpotensi digunakan dalam kasus serupa, sebagaimana terjadi pada mantan direksi BUMN yang diadili dengan dasar undang-undang tersebut. "Ketika pengacara terdakwa berdalih dengan pasal-pasal di UU BUMN, hakim tetap berpegang pada UU Keuangan Negara," tambahnya.
Permasalahan lain yang muncul adalah multitafsir dalam aturan terkait rangkap jabatan di Danantara. Saat ini, Ketua Badan Pengawas Danantara dijabat oleh Menteri BUMN, sementara CEO-nya dijabat oleh Menteri Investasi. "Kebal hukum atau tidak kadang ditentukan oleh situasinya -- bukan oleh hukumnya," tutupnya.

