Universitas di Bawah Bayang Oligarki: Ilmu Tergusur, Gelar Dijual

Ilustrasi. (Poto/net).

Penulis: Mangesti Waluyo Sedjati (Ketua Majelis Ilmu Baitul Izzah)

Satuju.com - Di era modern ini, universitas seharusnya menjadi benteng terakhir bagi keilmuan, tempat kebebasan berpikir dijunjung tinggi, dan kebenaran menjadi kompas utama dalam mencari ilmu. Namun, kenyataan di Indonesia justru berkebalikan. Praktik jual beli gelar akademik dan komersialisasi pendidikan telah meruntuhkan integritas lembaga akademik.

Sebuah universitas tua yang dulu dihormati kini berubah menjadi pasar gelar akademik. Jika dulu intelektual adalah suara perlawanan, kini mereka hanya menjadi bagian dari sistem yang melayani kepentingan politik dan kekuasaan. Universitas, yang seharusnya menjadi tempat persemaian berpikir kritis, malah menjadi arena transaksi kekuasaan.

Dalam artikel ini, kita akan mempelajari bagaimana universitas yang seharusnya menjadi pusat keilmuan kini tunduk pada kepentingan politik dan ekonomi, serta bagaimana data empiris membuktikan bahwa sistem akademik kita telah mengalami krisis moral yang akut. Di sisi lain, kami juga akan menganalisis bagaimana peringkat global universitas Indonesia, peningkatan biaya pendidikan tanpa disertai peningkatan kualitas, serta faktor yang menyebabkan akademisi Indonesia tidak pernah meraih penghargaan Nobel.

1. Universitas sebagai Benteng Ilmu yang Runtuh

Universitas selalu dianggap sebagai tempat munculnya gagasan besar lahir dan berkembang. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, peran universitas sebagai benteng ilmu mulai memudar.

Laporan dari Transparency International (2023) mencatat bahwa Indonesia memiliki indeks korupsi di sektor pendidikan yang cukup tinggi, dengan banyaknya kasus jual beli gelar, manipulasi hasil akademik, serta nepotisme dalam pengangkatan jabatan akademik. Komersialisasi pendidikan tinggi juga menjadi isu utama, dengan biaya kuliah yang semakin mahal tanpa jaminan peningkatan kualitas pendidikan.

Di sisi lain, survei dari QS World University Rankings (2024) menunjukkan bahwa hanya tiga universitas di Indonesia yang masuk dalam peringkat 500 besar dunia, menandakan bahwa standar akademik kita masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia.

Peringkat Universitas Indonesia di Kancah ASEAN dan Dunia

Berdasarkan data dari QS World University Rankings 2024, peringkat universitas-universitas di ASEAN adalah sebagai berikut:
    1. National University of Singapore (NUS) - Peringkat 8 dunia
    2. Nanyang Technological University (NTU) - Peringkat 15 dunia
    3. Universiti Malaya (UM), Malaysia - Peringkat 60 dunia
    4. Universitas Indonesia (UI) - Peringkat 206 dunia
    5. Universitas Gadjah Mada (UGM) - Peringkat 239 dunia
    6. Institut Teknologi Bandung (ITB) - Peringkat 256 dunia
    7. Universitas Airlangga (Unair) - Peringkat 308 dunia
    8. IPB University - Peringkat 426 dunia

Dari data tersebut, terlihat bahwa universitas-universitas Indonesia masih berada jauh di bawah universitas-universitas terkemuka di Singapura dan Malaysia.

2. Komersialisasi Gelar: Antara Status Sosial dan Transaksi Politik

Fenomena jual beli gelar akademik tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi telah menjadi penyakit sistemik yang menggerogoti integritas dunia akademik. Beberapa temuan empiris menunjukkan bagaimana gelar akademik semakin kehilangan makna:

1. Studi yang dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) menemukan bahwa setidaknya 10% dari gelar doktor yang diberikan oleh universitas swasta dan negeri di Indonesia tidak memenuhi standar akademik.

2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporannya tahun 2022 mengungkapkan bahwa beberapa universitas negeri menerima “sumbangan besar” dari pejabat dan pengusaha yang ingin memperoleh gelar akademik dalam waktu singkat.

3. Pada tahun 2018, skandal jual beli gelar terungkap di beberapa universitas swasta di Jakarta dan Medan, di mana mahasiswa bisa memperoleh gelar S2 hanya dalam waktu kurang dari satu tahun dengan membayar sejumlah uang.

4. Fenomena “doktor instan” di kalangan pejabat juga semakin marak, di mana mereka mendapatkan gelar akademik tanpa benar-benar menjalani proses penelitian yang layak.

Kasus Bahlil Lahadalia hanyalah puncak gunung es dari fenomena ini. Sebagai seorang pejabat publik, mendapatkan gelar doktor tanpa proses akademik yang wajar menunjukkan bahwa ilmu bukan lagi sesuatu yang dicapai dengan kerja keras, tetapi cukup diperoleh dengan modal politik dan koneksi.

3. Pendidikan sebagai Ladang Bisnis: Kapitalisme Akademik

Salah satu faktor utama yang membuat universitas semakin kehilangan integritasnya adalah kapitalisasi dunia akademik. Di banyak negara, pendidikan tinggi masih dianggap sebagai investasi negara untuk mencetak sumber daya manusia berkualitas. Namun di Indonesia, pendidikan lebih sering dianggap sebagai bisnis.

Faktor Penyebab Kenaikan Biaya Pendidikan Tinggi

Biaya pendidikan tinggi di Indonesia cenderung meningkat setiap tahun. Beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan biaya tersebut antara lain:
    
1. Peningkatan Kualitas dan Fasilitas – Perguruan tinggi berusaha meningkatkan kualitas pendidikan dengan memperbaiki fasilitas, infrastruktur, dan layanan pendukung lainnya.
    
2. Inflasi – Kenaikan biaya operasional akibat inflasi menyebabkan perguruan tinggi menyesuaikan biaya kuliah untuk menutupi pengeluaran operasional.
    
3. Minimnya Subsidi Pemerintah – Subsidi pemerintah untuk pendidikan tinggi masih terbatas, sehingga perguruan tinggi harus mencari sumber pendanaan lain, termasuk menaikkan biaya kuliah.

Namun, meskipun biaya pendidikan tinggi meningkat, hal ini tidak selalu diikuti oleh peningkatan kualitas yang signifikan. Laporan Statistik Penunjang Pendidikan 2021 oleh BPS menunjukkan bahwa biaya pendidikan di Indonesia meningkat di hampir semua jenjang, tetapi peringkat universitas Indonesia di kancah internasional masih stagnan.

4. Absennya Penghargaan Nobel untuk Akademisi Indonesia

Salah satu indikator prestasi akademik internasional adalah perolehan penghargaan Nobel. Hingga saat ini, belum ada akademisi atau ilmuwan dari Indonesia yang menerima penghargaan Nobel. Beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi hal ini antara lain:

1. Kurangnya Dukungan untuk Penelitian – Riset inovatif memerlukan dana besar, tetapi anggaran penelitian di Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara maju.

2. Kolaborasi Internasional yang Terbatas – Banyak akademisi Indonesia yang tidak memiliki akses terhadap jejaring riset global yang dapat meningkatkan reputasi dan visibilitas mereka.

3.Fokus pada Pengajaran daripada Penelitian – Banyak perguruan tinggi di Indonesia lebih menekankan pengajaran dibandingkan penelitian, mengurangi peluang untuk menghasilkan temuan inovatif yang bisa mendapatkan pengakuan internasional.

5. Jalan Keluar: Reformasi Dunia Akademik

Untuk mengembalikan marwah dunia akademik di Indonesia, beberapa langkah mendesak yang harus dilakukan adalah:

1. Meningkatkan transparansi dalam pemberian gelar akademik.

2. Memisahkan universitas dari intervensi politik dan oligarki.

3. Meningkatkan kebebasan akademik dan pendanaan riset.

4. Meninjau ulang sistem pendanaan universitas dan menekan biaya pendidikan tinggi.

Kesimpulan

Meskipun Indonesia memiliki jumlah perguruan tinggi terbanyak kedua di dunia, kualitas akademiknya masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN dan dunia. Kenaikan biaya pendidikan tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas, dan belum ada akademisi Indonesia yang menerima penghargaan Nobel. Jika kondisi ini terus berlanjut, Indonesia akan terus kehilangan daya saing global dalam bidang pendidikan dan riset.

Dunia akademik harus segera direformasi agar kembali menjadi tempat di mana ilmu dihormati, bukan diperjualbelikan. Apakah kita siap untuk melawan sistem yang telah bangkrut ini?

Daftar Pustaka
    1. Badan Pusat Statistik (BPS). (2021). Statistik Penunjang Pendidikan 2021. Jakarta: BPS Indonesia.
    2. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). (2022). Laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: BPK.
    3. Indonesia Corruption Watch (ICW). (2022). Laporan Investigasi: Praktik Jual Beli Gelar Akademik di Perguruan Tinggi Indonesia. Jakarta: ICW.
    4.Kompas.id. (2024). Peringkat Universitas Indonesia dalam QS World University Rankings 2024. Diambil dari https://www.kompas.id
    5. QS World University Rankings. (2024). QS World University Rankings 2024: Peringkat Wilayah Asia. Diperoleh dari https://www.topuniversities.com
    6. Transparansi Internasional. (2023). Corruption Perceptions Index: Higher Education Sector Report 2023. Berlin: Transparency International.
    7. UNESCO. (2022). Higher Education Global Trends and Funding Models: Case Study on Indonesia. Paris: UNESCO.
    8. World Bank. (2023). Higher Education Financing and Quality Assessment in Indonesia. Washington DC: The World Bank.
    9. Global Academic Freedom Index. (2022). Measurement Academic Freedom: A Global Perspective. Diperoleh dari https://www.academicfreedomindex.org
    10. OECD. (2023). Education at a Glance 2023: Global Education Indicators. Paris: Organisation for Economic Co-operation and Development.
    11. *GoodStats.id_. (2024). Negara dengan Perguruan Tinggi Terbanyak di Dunia: Indonesia di Posisi Kedua. Diperoleh dari https://goodstats.id
    12. Literat.my.id. (2023). Tantangan dalam Mencerdaskan Bangsa: Biaya Pendidikan di Indonesia yang Terus Meningkat. Diperoleh dari https://literat.my.id
    13. Kompas.id. (2024). Pembagian Beban Biaya Pendidikan Tinggi dan Aksesibilitas Pendidikan di Indonesia. Diperoleh dari https://www.kompas.id
    14. Jurnal Scimago & Peringkat Negara. (2023). Keluaran Ilmiah dan Kolaborasi Penelitian di Indonesia. Diperoleh dari https://www.scimagojr.com
    15. Indeks Alam. (2024). Dampak Penelitian Indonesia dan Kinerja Kolaborasi Global. Diperoleh dari https://www.nature.com/nature-index
    16. Peringkat Universitas Dunia. (2024). Pemeringkatan Pendidikan Tinggi Global dan Perbandingan Hasil Penelitian. Diperoleh dari https://www.timeshighereducation.com