Bermodalkan Kartu Pers Semata, Dua Pilihan Wartawan: Jadi Jurnalis atau Pengemis (?)

Karya tulis buku tentang Jurnalistik, direktur Utama Pekanbaru Jurnalistik Center (PJC), Drs. Wahyudi El Panggabean, MH. (Poto/istimewa).

Oleh: Drs. Wahyudi El Panggabean, MH

Kekayaan Anda tidak terkunci di brankas, tapi di pikiran Anda. (Kekayaanmu, tidak terkunci di brankas, tetapi di dalam pikiranmu).

ERA teknologi Informasi modern kini, masa depan seorang wartawan berpikir pada dua pilihan:

Kesatu, tumbuh menjadi jurnalis profesional, menjalani profesi secara terhormat, karena memiliki integritas, serta hidup layak dari pekerjaan sebagai jurnalis.

Kedua, menjalankan profesi jurnalis dengan menguber para sumber masalah. Maka, manfaatkan kasus si Narasumber untuk kepentingan dirinya sendiri. 

Aktivitasnya, mengatasnamakan profesi wartawan, lewat cara-cara kurang terhormat, dengan membuat kesalahan atau mengemis kepada narasumber.

Saya berharap_siapa pun Anda yang hari ini menyebut diri wartawan_bersedia memilih alternatif yang pertama. Meskipun demikian, konskuensi atas pilihan itu, mencerminkan risiko yang berat. 

Tetapi risiko memilih alternatif kedua, lebih mengerikan. Sebab, seharusnya kita sadari: menjadi wartawan miskin, baik miskin ilmu, maupun miskin materi, tentu saja sangat menyakitkan.

Dunia ini kejam terhadap orang miskin (Dunia ini kejam bagi pria miskin). Setuju atau todak, profesi wartawan, tidak pernah hadir sebagai sarana pemerasan atau sarana mengemis.  

Memeras atau "mengemis" ke narasumber adalah pekerjaan yang diserap dengan dalih untuk kepentingan perut. Sebab, tanpa mengemis bagaimana Anda memenuhi kebutuhan Anda?

Padahal, profesi wartawan adalah pekerjaan terhormat, yang dijalankan orang-orang terhormat, dengan skill jurnalistik sesuai standar kompetensi. Bekerja di perusahaan pers tempat mengabdikan profesinya.

Perusahaan pers inilah yang memberi gaji dan honorarium bagi karyawan dan wartawannya.  si Wartawan, menerima wujud kesejahteraan dari perusahaan pers sebagai imbal jasa atas aktivitasnya selaku pemburu informasi.

Dari honorarium (kehormatan) berupa gaji dari perusahaan pers itu pula, Wartawan memiliki jaminan hidup yang halal untuk anak dan istrinya. 

Jadi, seorang wartawan menerima gaji dari perusahaan tempatnya bekerja. Bukan dari narasumber. Demikianlah sejatinya, seorang wartawan.

Tetapi, ada banyak juga oknum wartawan yang tidak menerima gaji dari perusahaannya bekerja. Ada juga wartawan sekaligus pemimpin media tempatnya bekerja. 

Malah, ada banyak oknum wartawan yang merangkap semua: sebagai owner perusahaan media, sebagai pemimpin media itu, sebagai redaktur juga. Malah, sekaligus sebagai reporternya.

Bayangkan itu, semua posisi dirangkap. Ibarat bus umum: mulai dari kenek, cincu, sopir sekaligus pemilik bus diserahkan ke satu orang. Luar biasa ya.

Tetapi, menurut pengamat pers, kondisi seperti, yang umumnya terjadi saat ini. Kondisi ini, kelihatannya, memprihatinkan.

Sebab, setuju atau tidak, dari situasi seperti inilah muncul banyak problema susulan. Menjamurnya, oknum wartawan, bermodalkan kartu pers semata.

Semangat deregulasi mendirikan institusi pers sejak era reformasi 1988 menyusul kehadiran Undang Undang Pers No. 40 Tahun 1999_yang mensyaratkan ber-Badan Hukum semata_ terkesan kebablasan.

Kemerdekaan pers yang diamanahi undang undang pers, direspon sebagai kebebasan tanpa batas mendirikan perusahaan pers. Dewan Pers pun akhirnya, kewalahan. 

Buktinya, berbagai kebijakan yang diterapkan Dewan Pers, seperti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) ferivikasi terhadap perusahaan pers.dan organisasi pers, tampaknya belum memberikan kontribusi yang signipikan.

Perusahaan pers terus tumbuh pesat. Menjamur. Pertumbuhannya, sudah terkesan lepas kendali. Dampaknya kemudian terlihat dari, jumlah oknum-oknum yang mengatasnamakan profesi wartawan terus mengalami eskalasi.

Para pemimpin media-media ini, dengan seenaknya "mengangkat" dan "mencetak" oknum-oknum wartawan bermodalkan legalitas kartu pers semata.

Situasi inilah, diduga sebagai "rahim besar" munculnya oknum-oknum yang hari ini, berkeliaran ke mana-mana mencari mangsa dengan cara memeras atau mengemis.

Dari sini pula awal alternatif pilihan kedua yang disebut dibawah tulisan ini, yakni para oknum  mengatasnamakan profesi wartawan, lewat cara-cara kurang terhormat, dengan memeras atau mengemis.

Untuk itulah Penulis mengultimatum: bagi yang menyebut diri sebagai wartawan, jika tidak berani memilih alternatif yang pertama, Penulis menyarankan Anda untuk meninggalkan profesi wartawan. 

Sebab, tidak satu pihak pun, yang diuntungkan oleh kehadiran Wartawan "Abal-abal". Tidak usah membuang-buang waktu, dengan memikul profesi ini, ke mana-mana. Toh, prilaku dan tindakan Anda justru merusak nama baik profesi mulya ini.

Sesungguhnya, profesi wartawan, menawarkan sukses & kejayaan, bagi pemangku nya, dengan tebusan syarat mutlak: integritas, keberanian, kegigihan & kecerdasan. 

Inilah di antara, persyaratan agar wartawan beroleh kompetensi dan skill jurnalistik yang dibutuhkan untuk meraih predikat wartawan profesional. Simak penjelasannya sbb:

Integritas, berarti mengutamakan moral ketimbang penyalahgunaan profesi atas dalih kebutuhan perut serta kemewahan. Integritas adalah pagar kokoh penjaga kode ethik jurnalistik.

Keberanian menjadi harga mati, modal utama menjalankan prosesi tugas jurnalistik untuk berburu, mengolah serta menyampaikan informasi kebenaran lewat berita yg ditulis kemudian disiarkan.

Anda akan menjadi wartawan pemberani, jika Anda menguasai ilmu wartawan. Sebaliknya, Anda akan jadi wartawan pengecut dan tidak bernilai, jika Anda tidak menguasai skill jurnalistik. 

Satu-satunya cara untuk menguasai ilmu jurnalistik, yah, mempelajarinya. Belajar di lembaga formal, melalui buku, melalui Google, Youtube. Termasuk melalui pelatihan.

Wartawan pemberani hanya takut kepada Tuhan. Meski begitu, kode ethik jurnalistik menjadi koridor tugas jurnalistik agar wartawan tidak sewenang-wenang dalam bertugas. Tidak semaunya saja. Mengubah pena menjadi palu.

Untuk itu, seorang wartawan wajib memahami dan menjalankan Kode Ethik Jurnalistik Indonesia (KEJI) sebagai pedoman wartawan dalam bertugas. Pelajari itu.

Kegigihan artinya pantang menyerah. Gigih dalam berlatih, terus belajar secara konsisten sesuai perkembangan Iptek. 

Dengan belajar ilmu jurnalistik, teknologi dan ilmu lain, wawasan Anda akan berkembang.
Kecerdasan Anda makin meningkat. Semoga Anda juga makin rendah hati dan arif.

Ilmu jurnalistik di tingkat dasar yang mesti dipahami dan dikuasai antara lain: KEJI, Teknik Wawancara, Menulis Berita, Strategi Menembus Narasumber, Teknik Memotret, Membangun Jejaring, dsb.

Semua ilmu tersebut di atas, tidak bisa dikuasai dalam waktu singkat. Butuh kesabaran untuk berlatih, belajar: teori dan praktek secara konsisten. Secara teratur.

Selain itu, seorang wartawan harus gigih dalam memburu informasi serta_seperti dijelaskan tadi_ gigih mengembangkan jejaring (pergaulan), sebagai sentra informasi. Wartawan tidak menyukai orang malas. 

Intinya, Kecerdasan sangat dibutuhkan seorang wartawan  dalam tugas dan profesinya. Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional juga kecerdasan spritual dalam mengemban profesi mulya ini. 

Tanpa kecerdasan, Anda tidak akan mampu menentukan "news value" (nilai berita) dalam sebuah masalah atau peristiwa di tengah kehidupan yang tumbuh pesat.

Penentuan nilai berita ini, adalah langkah awal sebuah prosesi perburuan informasi. Dan itu, butuh kecerdasan. 

Selanjutnya, semua proses pengoperasian jurnalistik memerlukan kecerdasan. Kecerdasan diperlukan saat berkomunikasi dengan narasumber, saat wawancara, meminta konfirmasi, termasuk dalam proses kinerja internal di lingkungan redaksi.

Pemahaman keterampilan jurnalistik secara memadai inilah, yang menjadikan Anda seorang jurnalis yang kompeten. Sehingga, Anda layak bekerja sebagai jurnalis di media-media profesional.

WARTAWAN PROFESIONAL .
Pasal 2 KEJI mengharuskan wartawan menempuh cara-cara profesional dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. 

Artinya, seorang yang memangku profesi wartawan haruslah seorang yang profesional. Seorang jurnalis profesional, berarti seorang pemilik kompetensi karena telah memiliki keterampilan jurnalistik seperti yang dijelaskan di atas.

Jika Anda telah memiliki kompetensi_tidak ada persyaratan dengan UKW_berarti Anda layak bekerja di Perusahaan Pers yang memenuhi kewajiban Pasal 10 UU Pers yakni:

"Perusahaan Pers, memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham, atau pembagian laba bersih, serta bentuk kesejahteraan lainnya".

Jika Anda sudah berhasil menjadi wartawan di media-media besar, berarti Anda adalah seorang wartawan yang menerima kesejahteraan atau gaji secara layak dari Perusahaan Pers tempat Anda bekerja.

JURNALIS PENGEMIS.
Persoalan krusial pers saat ini adalah munculnya perusahaan media berita dalam jumlah besar yang dikelola oleh orang yang belum berpengalaman.

Data dari Dewan Pers menyebut, angka perusahaan pers amatir ini sudah di atas 40 ribu.
Persoalan susulan dari sporadisme ini justru menjamurnya oknum-oknum yang mengaku sebagai jurnalis tanpa dilengkapi skill jurnalistik yang mumpuni.

Tulisan ini, tidak menggiring terciptanya polemik. Tetapi, untuk mengingatkan beberapa hal:

1. Hal terpenting bagi wartawan adalah kompetensi. Anda harus berkompeten di bidang profesi wartawan. Teruslah belajar, berlatih sampai ilmu jurnalistik Anda, sempurna.

2. Tidak ada kata terlambat bagi Anda untuk sukses sebagai wartawan. Yang penting, Anda harus mau berubah. Punya kemauan yang kuat, belajar dan berlatih secara konsisten.

Tanpa itu, siap atau tidak siap, Anda akan masuk dalam kategori wartawan yang mengganggu sebagai "Wartawan Pengemis". Atau menjadi seorang “Wartawan Abal-Abal”.