Tak Banyak Memegang Pena seperti Senjata di Negeri Demokrasi

Damai Hari Lubis.(Poto/ist).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Adalah sebuah ironi ketika bangsa yang mengklaim demokrasi sebagai fondasi kehidupannya justru menyaksikan salah satu tiang penyangganya roboh pelan-pelan: Pers. Bukan karena diruntuhkan oleh kekuatan brutal, bukan pula oleh revolusi berdarah. Tapi oleh sesuatu yang lebih halus dan mematikan: manisan kekuasaan dan ketakutan yang dililitkan secara sukarela.

Kini, pers bukan lagi "anjing" penjaga yang menggonggong keras saat kekuasaan menyimpang. Ia berubah menjadi "hewan peliharaan" jinak yang disuapi setiap hari, cukup kenyang untuk tak menggonggong. Ruang redaksi yang dulunya menggema dengan suara perdebatan tajam kini sunyi oleh suara klik mouse pada email rilis resmi pemerintah.

Dengan demikian, rakyat harus (dipaksa) menerima, karena telah memenuhi unsur ketatanegaraan. Bila menolak, dianggap hukum negara. Kena sanksi hukum positif. Mau?

Demokrasi, memang mudah diucapkan. Namun, tidak mudah dijalankan. Setujukah?

Tak banyak lagi yang memegang pena seperti senjata. Yang tersisa hanya segelintir, para jurnalis idealis yang menulis seperti menulis, meski tahu setiap hurufnya bisa berujung pada kriminalisasi, stigmatisasi, bahkan dipecat secara halus dari ruang redaksi. Sisanya? Mereka memilih diam. Bukan karena tak tahu, tapi karena takut. Takut pada tekanan pemilik media, takut kehilangan iklan, takut dengan pasal-pasal karet yang ditarik oleh aparat seenaknya.

Sayangnya, pers kita telah “ditutup dengan manis.” Penuh seremoni, pengakuan simbolik, bahkan penghargaan-penghargaan prestisius dari istana. Tetapi di balik senyuman manis itu, ada fungsi pemiskinan. Jurnalisme investigasi yang menelanjangi skandal negara kini seperti artefak langka. Redaksi lebih sibuk menjaring klik dan trending topic daripada mengangkat ketidakadilan struktural. Wartawan jadi pengutip narasumber, bukan pencari kebenaran.

Ini bukan hanya soal kebebasan pers yang terancam. Ini tentang masyarakat yang kehilangan hak untuk tahu, dan penguasa yang tak lagi merasa harus menjelajah. Karena saat pena menjadi tumpul, kekuasaan menjadi kebal, dan demokrasi menjelma dekorasi.

Dan ya, yang tidak mendapat pemanis apa-apa—mereka yang tetap mengangkat pena tajamnya—terpaksa bertahan di pinggir: dicibir, disensor, atau dilupakan. Tapi justru merekalah yang menjaga marwah profesi ini tetap hidup. Di tengah ruang yang semakin sempit, mereka terus menulis, karena sadar: dalam setiap kata yang jujur, ada perlawanan.

Apakah kita akan terus merayakan demokrasi dengan bibir penuh manisan dan mata tertutup? Atau sudah saatnya kita menyeka gula-gula itu dan bertanya: siapa yang sebenarnya mengendalikan cerita?

AJI: PHK dan Upah Rendah masih Mendera Pekerja Media