Wajah Buram Penegak Hukum di Kemenangan PTPN IV Vs KOPPSA-M Timbulkan Tanda Tanya

Kuasa hukum petani, Armilis Ramaini, S.H. dan Ilustrasi buramnya penegak hukum.(Poto/ist/satuju.com).

Catatan Hukum: Armilis Ramaini, S.H.

Bangkinang, Satuju.com - Putusan Pengadilan Negeri (PN) Bangkinang yang memenangkan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV dalam gugatan terhadap ratusan petani sawit di Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, menyisakan keprihatinan mendalam terkait potret penegakan hukum di Indonesia. Dalam perkara perdata dengan nomor 75/Pdt.G/2024/PN.Bkn, Majelis hakim memerintahkan para petani untuk membayar dana talangan senilai Rp 140 miliar dan menyetujui penyitaan atas kebun sawit yang mereka kelola.

Kuasa hukum petani, Armilis Ramaini, S.H., menilai bahwa proses hukum dalam perkara ini sarat kejanggalan. Ia menyebut sidang dipenuhi rekayasa dan intrik yang merugikan posisi para petani yang tergabung dalam Koperasi Produsen Petani Sawit Mandiri (KOPPSA-M).

“Ini bukan sekadar kekalahan hukum, tapi gambaran buram sistem peradilan yang berat sebelah,” ungkap Armilis, dalam catatan hukumnya. Minggu (1/6/2025).

Kasus bermula dari kredit talangan senilai Rp 140 miliar yang diajukan PTPN ke Bank Mandiri, konon atas nama koperasi petani. Namun, menurut Armilis, para petani tidak pernah mengetahui, menyetujui, atau menandatangani dokumen pengajuan kredit tersebut. Ia menduga dokumen pengajuan telah dipalsukan oleh oknum berkepentingan.

Tak hanya soal kredit, pekerjaan pembangunan kebun sawit pun dinilai penuh ketidakberesan. Mulai dari tahap pra-tanam hingga perawatan dilakukan secara asal-asalan, tanpa standar kelayakan. Kebun yang mestinya menjadi sumber penghidupan ratusan keluarga petani justru gagal berproduksi.

“PTPN seharusnya bertanggung jawab atas kegagalan ini. Namun alih-alih menyelesaikan masalah, mereka malah menggugat para petani, bahkan yang sudah meninggal, ke pengadilan,” lanjut Armilis.

Dalam gugatannya, PTPN menuntut agar seluruh petani bertanggung jawab atas utang talangan dan kebun mereka disita, meski kebun tersebut tidak pernah dijadikan agunan dalam perjanjian kredit.

Selama persidangan, Armilis mencatat sejumlah kejanggalan, terutama dalam sikap ketua majelis hakim, Soni Nugraha. Hakim disebut membatasi pembuktian di lapangan serta membatasi jumlah saksi dari pihak tergugat. Dua keterangan saksi ahli yang berpihak pada petani juga disebut diabaikan dalam putusan.

“Sejak sidang pemeriksaan setempat, arah keberpihakan sudah terlihat jelas. Puncaknya, semua permintaan penggugat dikabulkan majelis hakim,” tegas Armilis.

Meski putusan telah dibacakan, pihak petani menyatakan akan menempuh jalur banding. Mereka berharap, proses hukum ke depan dapat berjalan lebih adil dan tidak dijadikan instrumen legitimasi penindasan terhadap masyarakat kecil.

“Kami menghormati putusan ini, namun kami juga menggunakan hak hukum kami untuk melawan ketidakadilan. Ini bukan semata soal kebun, tapi tentang martabat dan hak hidup petani,” pungkas Armilis.(PJC)