Negara Tidak Boleh Jadi Alat Kekuasaan: Hukum Bukan Tameng untuk Bela Jokowi
Ilustrasi.(Poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat Hukum KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Semakin banyak bermunculan (pemberitaan) dari berbagai media konvensional dan mainstream terkait tuduhan publik, informasi Jokowi eks Presiden RI ke 7 menggunakan Ijazah palsu, maka informasi ini harus diinvestigasi kebenarannya oleh pihak aparat sesuai due proses hukum dan berpedoman dengan asas netralitas
Contoh informasi, nama Dekan UGM yang tertera di foto copi Ijazah S-1 Jokowi yang beredar luas, yang sebenarnya dekan pada tahun kelulusan Jokowi (1985) adalah Ptof. Dr.Ir. Achmad Sumitro bukan Achmad Soemitro, dan terhadap penamaan Achmad Soe mitro, juga mendapat bantahan tegas dari Aida Greenbury putri dari Alm. Ahmad Sumitro.
Hal nama yang berbeda dari hasil percetakan yang jika diperbolehkan oleh UGM adalah hal yang mustahil karena tidak masuk akal, berbeda hasil cetakan dari percetakan yang sama?
Selain pastinya "pelaksana tugas percetakan" akan mendapat klaim oleh pihak kampus (dekanat dan rektorat) karena tidak berkesesuaian, jo. Ketentuan Administratif, jo vide KBBI.
Ref-1; https://youtu.be/Bc3v9uCs238?si=VWmFbgL3n4skAh_5
Lalu informasi dari Jokowi sendiri yang awalnya (video viral) mengatakan, seolah-olah dosen pembimbing skripsinya di UGM (1985) adalah Kasmudjo.
Lalu di belakangan setelah dibantah oleh Kasmudjo, Jokowi mengklarifikasi "Kasmudjo bukan dosen pembimbingnya namun dosen pembimbing akademik".
Maka, klarifikasi Jokowi ini menambah daftar dari lebih kurang 100 kebohongannya. Karena Kasmudjo telah jujur mengakui, bahwa pada tahun 1985 dirinya masih menjabat Asisten Dosen, yang secara umum, Asdos tentu tidak bisa menjadi Pembimbing Akademik!
Ref-2; https://www.detik.com/jateng/berita/d-7928976/jokowi-akui-kasmudjo-bukan-dosen-pembimbing-skripsi-tapi.
Bukan kah hal yang simpel bagi penyidik untuk melacak benar atau tidaknya kesemua keterangan Jokowi dan pihak UGM. Karena Kemediknas (melalui Ditjen Dikti) memiliki dokumentasi terkait nama-nama pemangku jabatan dekan disemua PTN/ Perguruan Tinggi Negeri, temasuk PTS/ Perguruan Tinggi swasta (melalui Kopertis), selain dan selebihnya jabatan dekan dan nama-nama Dosen Pembimbing dan AsDos pada semua fakultas di sebuah Perguruan Tinggi pasti ada Surat Keputusan/ SK dari Pejabat Rektor atau dari Dekan, karena menyangkut kebutuhan anggaran (honor) kegiatan yang akuntabel oleh fakultas atau rektorat, karena manyangkut keuangan negara, dikarenakan UGM adalah perguruan tinggi negeri (PNS/ ASN), jo arsip BPK.
Apakah kesemua arsip penting UGM (rektorat dan dekanat) dimaksud juga nihil atau hilang? Seperti informasi terkait "arsip atas nama Jokowi yang tidak ditemukan di KPUD. Surakarta?"
Maka andai benar telah terjadi penggelapan dokumen oleh UGM terhadap arsip negara melalui cara-cara atau modus kehilangan dan merekayasa surat-surat (pemalsuan dan atau menghilangan surat-surat otentik), maka perbuatan ini serius merupakan tindak kriminal, karena Riwayat Jokowi tak terpisahkan dari otentitas biografi atau sejarah hukum seorang presiden 2 (dua) periode.
Tentunya publik sangat meyakini ada faktor 'permainan' yang melibatkan pihak rektorat dan dekanat UGM secara bersama-sama termasuk pejabat di Kemendiknas, terkait tuduhan publik yang berkembang saat ini, yakni melakukan pemalsuan akte otentik dalam bentuk Ijazah atau setidak-tidaknya turut serta sengaja melakukan pemalsuan atau disobedient (pembangkangan hukum), Vide Pasal 421 KUHP dan dugaan kejahatan pemalsuan atau memberikan keterangan palsu, jo. Pasal 243, 244 dan atau 266 KUHP serta Jo. UU. Tentang Diknas (karena dilakukan saat UU. Diknas masih berlaku).
Andai hukum akhirnya memutuskan ijazah S-1 Jokowi palsu, maka dapat "ditengarai dan disimpulkan oleh sebab hukum" semua pejabat publik (lintas lembaga) yang juga serta (deelneming) jo. Pasal 55 KUHP termasuk Jokowi dapat berkahir di penjara.
Sebaliknya dalam pelaksaan penegakan hukum yang harus berkepastian, bermanfaat dan berkeadilan, apa penyebutan state of crime dalam istilah hukum di negara ini terhadap para pejabat publik? Dan atau aparat penyelenggara negara yang tega melakukan pembenaran terhadap orang yang menggunakan ijazah palsu, lalu merekam anomali (kontradiktif) terhadap sumpah dan fungsi jabatan, berusaha (ingin) menghukum para aktivis yang memiliki jatidiri ilmuwan (IT dan para ahli hukum) yang nota bene sedang sumbangsih (berkarya) membantu negara dengan sukarela (gratis), khususnya membantu pihak Polri untuk mengungkap tindak lanjut sesuai Pasal 108 KUHAP jo. Pasal 9, 13, 42 dan 43 UU. Polri jo. Pasal 33 UU. Kejaksaan RI.
Oleh karena itu justru yang sehat pola berpikirnya akan sepakat, bahwa seyogyanya logis dan ideal jika Pemerintah RI atas nama Negara RI apresiasi kepada para aktivisme, meskipun dalam bentuk lembaran kertas yang berlogo Burung Garuda, karena terbukti aktif membantu penegakan hukum mengungkap kejahatan Jokowi yang mencederai hukum serta merusak mentalitas dan moralitas bangsa ini.
Dan penulis selain berdasarkan bukti data empiris, juga memiliki bukti pengalaman pribadi, saat bertemu langsung dengan Jokowi di rumahnya di Solo (16 April 2025), sehingga pengamat secara psikogis yakin seyakin-yakinnya 100 persen Ijazah S-1 Jokowi dari Fakultas Kehutanan UGM adalah palsu.

