Hakim Tidak Boleh Melempar Bola Panas Gugatan Ijazah Jokowi

Ilustrasi.(Poto/net).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Putusan Pengadilan Negeri (PN) Surakarta terhadap perkara gugatan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, menyisakan ironi dalam penegakan hukum kita. Dalam sidang yang digelar secara daring pada Kamis, 10 Juli 2025, Majelis Hakim yang diketuai oleh Putu Gde Hariadi menyatakan bahwa PN Surakarta tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Dengan mengabulkan eksepsi kompetensi absolut dari para tergugat, gugatan pun diputuskan NO (Niet Ontvankelijke Verklaard)—tidak dapat diterima.

Gugatan ini diajukan oleh Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. terhadap empat pihak: Joko Widodo sebagai Tergugat I, KPU Surakarta (Tergugat II), SMAN 6 Surakarta (Tergugat III), dan Universitas Gadjah Mada (Tergugat IV). Diwakili oleh tim pengacara yang menamai diri TIPU UGM (Tolak Ijazah Palsu Usaha Gakpunya Malu), gugatan ini tidak hanya menggugat keabsahan dokumen, tapi juga memantik debat publik mengenai transparansi akademik dan integritas pejabat publik.

Namun, bukan soal substansi gugatan yang menjadi sorotan utama kali ini, melainkan sikap lembaga peradilan yang memilih untuk menolak memeriksa perkara dengan alasan kewenangan absolut. Padahal, dalam sistem hukum modern, dikenal asas Ius Curia Novit—hakim dianggap tahu hukum, dan karena itu tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya.

Pertanyaannya kemudian: Jika bukan PN Surakarta, lalu pengadilan mana yang berwenang? Apakah perkara ini harus diajukan ke pengadilan agama? Pengadilan niaga? Atau, secara sinis, "pengadilan dekat Pasar Pramuka"?

Kritik ini bukan tanpa dasar. Dalam kasus serupa tahun 2023, PN Jakarta Pusat juga menyatakan diri tidak berwenang mengadili gugatan serupa yang diajukan oleh TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis). Kini, pola itu berulang. Ada kesan bahwa pengadilan saling melempar tanggung jawab, atau bahkan enggan menyentuh perkara yang sensitif secara politik.

Sikap ini sangat berbahaya. Ia mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga yudikatif yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Jika hakim tak lagi progresif, tak lagi berani menggali, menemukan, dan menerapkan hukum secara substantif, maka kita sedang menyaksikan kemunduran sistem hukum ke titik stagnan yang penuh kehati-hatian politis.

Yang lebih memprihatinkan, putusan ini seolah ingin mematikan wacana tanpa membantah substansinya. Menolak gugatan karena alasan formal seperti kewenangan, tanpa menguliti pokok perkaranya, sama saja dengan menyapu debu ke bawah permadani. Publik tidak akan berhenti bertanya: Apakah ijazah itu asli atau tidak? Dan pertanyaan itu tidak akan bisa dijawab selama lembaga hukum menutup pintu pembuktian.

Lebih jauh lagi, putusan ini mencerminkan krisis keberanian dalam dunia peradilan kita. Hakim sebagai "wakil Tuhan di muka bumi", sebagaimana kerap disebut dalam filsafat hukum, justru bersikap pasif dan administratif. Seolah-olah yang terpenting adalah tidak salah prosedur, bukan menjawab keadilan substantif.

Kini, setelah dua gugatan serupa mental karena soal kewenangan, pengadilan mana lagi yang dianggap berwenang? Apakah penggugat harus menunggu “komando politik” agar dapat akses pembuktian? Apakah keadilan hanya tersedia untuk perkara yang tidak menyentuh penguasa?

Kalau begitu keadaannya, kita patut khawatir bahwa sistem peradilan kita perlahan berubah dari tempat pencari keadilan menjadi pagar pelindung elite. Dan kalau hakim sendiri sudah kehilangan daya gigit untuk menegakkan hukum, maka masyarakat akan mencari keadilan di luar jalur hukum—suatu kondisi yang sangat membahayakan.

Sudah saatnya hakim kembali kepada ruh tugasnya: mengadili semua perkara dengan integritas dan keberanian, bukan menghindar dengan alasan administratif.