Air Mata Menumbing: Ketika Alam Tersakiti oleh Keserakahan

Ait Tercemar di Menumbing

Bangka Barat, Satuju.com — Di kaki Bukit Menumbing, tempat sejarah pernah bersemayam dan alam pernah memberikan berkah, kini mengalir air mata bumi yang tercemar oleh keserakahan manusia. Mata air yang selama puluhan tahun menjadi sumber kehidupan ribuan warga Mentok, kini tak lagi jernih. Itu keren. Ia terluka. Selasa (15/7/2025).

Senin pagi, 14 Juli 2025, cahaya mentari menyatakan di balik pepohonan hutan yang kian menipis. Tim gabungan dari Satpol PP Bangka Barat, Polsek Mentok, dan PDAM Mentok, melewati lereng Menumbing, bukan untuk berpatroli biasa, tapi untuk menyaksikan langsung luka yang diderita alam.

Mereka tidak membawa senjata, tapi membawa tekad: menegakkan keadilan bagi sumber air bersih yang tercemar. 

Di lokasi, bukan gemericik air yang menyambut, melainkan lubang-lubang bekas galian tambang timah ilegal. Tanah tercabik, resapan air rusak, dan suara alam seakan dibungkam oleh deru mesin tambang yang pernah menderu di sana.

“Kami menemukan bekas aktivitas penambangan di kawasan hutan penyangga. Akan kami pastikan legalitas lahannya—apakah ini hutan lindung atau bukan,” ujar IPTU Rusdi Yunial, Kapolsek Mentok, dengan wajah yang menyiratkan kemarahan tertahan.

Yang membuat lebih miris, tidak ada satu pun pelaku yang ditemukan di lokasi. Alat berat dan peralatan tambang dibiarkan begitu saja. Diduga kuat, operasi penertiban ini telah bocor terlebih dahulu.

“Kami curiga ada yang membocorkan informasi. Ini bukan sekedar pelanggaran hukum, ini juga mengecualikan,” tegas Iptu Rusdi.

Lebih mengejutkan lagi, dugaan interaksi oknum TNI pun muncul ke permukaan. Berdasarkan informasi jejaring media KBO, aktivitas penambangan ini diduga berada di bawah koordinasi pihak yang seharusnya menjaga tanah air, bukan malah merusaknya. 

Jika ini terbukti, maka ini bukan hanya kejahatan lingkungan—ini adalah pengkhianatan terhadap tanah kelahiran.

Air mata Menumbing bukan metafora. Itu nyata. Udara yang mengalir ke bak penampungan PDAM kini berwarna coklat pekat. 

Dua titik polusi ditemukan. PDAM Mentok terpaksa mengambil tindakan darurat karena pasokan air terganggu, dan masyarakat di bawah bukit terancam krisis air bersih.

Kondisi ini memicu reaksi cepat dari aparat. Kapolres Bangka Barat, AKBP Pradana Aditya Nugraha, turun langsung ke lokasi bersama perwakilan Kodim.

"Siapa pemilik tambang ini? Segera usut!" katanya lantang, memberi perintah yang tak bisa ditawar.

Tapi semuanya seolah terlambat. Kejahatan lingkungan sudah telanjur terjadi, dan dampaknya tidak hanya merusak fisik tanah, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. 

Sebab kasus seperti ini bukan yang pertama, dan nyatanya, belum ada efek jera bagi para pelakunya.

Warga setempat, yang tak ingin disebutkan namanya, hanya bisa menghela napas.

"Untuk apa semua kekayaan ini kalau tidak bisa diwariskan dalam bentuk yang layak untuk anak cucu? Ini bukan hanya tentang air, tapi tentang hati nurani."

Pertanyaannya kini sederhana tapi menyakitkan: di mana negara saat rakyatnya dirampas hak atas air bersih? 

Di mana pengawasan ketika lubang-lubang tambang dibuka secara bebas di kawasan resapan? Dan siapa yang akan bertanggung jawab bila kelak anak-anak kita hanya mengenal air bersih lewat cerita?

Ini adalah titik kritis. Sebab ketika sumber air bersih rusak, yang dipertaruhkan bukan hanya kebutuhan sehari-hari, tetapi juga kelangsungan kehidupan. 

Air bukan hanya soal teknis PDAM. Ia adalah lambang ikatan manusia dengan alam. Saat ia tercemar, rusak pula moral dan keberadaban kita.

Kita sedang dihadapkan pada pertarungan antara hukum dan ketamakan. Sayangnya, dalam banyak kasus, hukum kerap kalah—bukan karena tak punya kekuatan, tapi karena tak ditegakkan dengan sepenuh hati.

Tragedi ini harus menjadi peringatan keras bahwa pendidikan hukum lingkungan kita masih lemah. Penegakan hukumnya pun setengah hati. Perlu ada langkah konkret: audit total semua tambang di sekitar kawasan konservasi, cabut izin perusahaan yang melanggar, dan proses hukum oknum—siapa pun dia—yang terlibat.

Dan kepada para petualang tanah air, perlu diingat: setiap tetes air yang kalian kotori, adalah doa luka dari generasi yang kalian abaikan. Jangan sampai lubang-lubang tambang itu menjadi simbol kegagalan kita sebagai bangsa yang katanya mencintai alam.

Udara bisa mengalir pelan, tapi jika tercemar, dampaknya menghancurkan dalam diam. Kini saatnya hukum menegakkan keadilan, bukan sekedar mengeluarkan pernyataan.

Biarkan Menumbing pulih. Biarkan airnya kembali jernih. Dan jangan biarkan kerakusan menjadi warisan bagi anak cucu kita.(RF)