Membaca untuk Mengasah, Bukan Sekadar Menambah

Ilustrasi. (poto/net).

Sumber: @latexs27

Satuju.com - Kita sering terpesona pada orang yang mengaku membaca puluhan buku setahun. Foto rak penuh buku terlihat keren di media sosial. Namun, sebuah riset dari National Endowment for the Arts justru mengungkap kenyataan pahit: 56 persen pembaca buku nonfiksi tak bisa mengingat satu pun argumen utama dari buku yang mereka baca sebulan lalu. Masalahnya bukan pada ingatan yang buruk, melainkan pada cara membaca yang keliru.

Saya pernah bertemu seseorang yang bangga telah menamatkan 50 buku dalam setahun. Tapi ketika ditanya satu ide penting dari buku terakhir yang ia baca, jawabannya kabur. Sebaliknya, saya kenal orang yang hanya membaca lima buku setahun, tetapi cara berpikirnya tajam, runtut, dan berpengaruh dalam diskusi. Perbedaannya sederhana: yang pertama membaca untuk tahu, yang kedua membaca untuk mengasah.

Membaca bukanlah kegiatan pasif. Ia adalah arena pergulatan pikiran. Buku bukan sekadar untuk dihafal, tetapi untuk ditantang, digugat, dicerna, bahkan diperdebatkan. Tanpa proses itu, buku hanya “numpang lewat” di kepala.

Agar bacaan tidak sekadar menjadi koleksi, berikut tujuh teknik yang bisa mengubahnya menjadi alat pembentuk ketajaman berpikir:

1. Mulai dengan pertanyaan, bukan halaman pertama

Seperti yang dijelaskan Mortimer Adler dalam How to Read a Book, pembaca aktif memulai dengan rasa ingin tahu. “Apa yang ingin aku cari dari buku ini?” Pertanyaan ini membuat pikiran siap menghadapi, bukan sekadar menerima.

2. Tandai, bukan hafalkan

A.G. Sertillanges menyarankan membuat catatan pemicu pikiran—bukan sekadar menyalin, tapi menulis reaksi, kritik, atau pertanyaan terhadap ide yang dibaca. Catatan ini menjaga otak tetap berinteraksi dengan teks.

3. Bahas ulang dengan kata sendiri

Setelah membaca bagian penting, tutup buku, lalu jelaskan kembali dengan bahasa kita sendiri. Bukan untuk menguji hafalan, tapi untuk menguji kedalaman pemahaman.

4. Bedakan ide utama dari bumbu retoris

Banyak buku yang ide pokoknya sederhana namun dibungkus panjang lebar. Pembaca kritis mampu memilah inti dari hiasan kata-kata.

5. Berdebat dengan penulis

Setuju atau tidak setuju, ajukan alasan. Membaca harus menjadi percakapan dua arah, agar otak tetap aktif menguji argumen.

6. Hubungkan dengan pengalaman hidup

Pengetahuan yang terhubung dengan realitas akan melekat lebih lama. Cari relevansinya dengan kehidupan sehari-hari.

7. Tulis ulang ide dengan gaya berbeda

Merangkum ide besar buku dengan gaya sendiri—entah serius, jenaka, atau satir—membantu mengintegrasikannya ke dalam kerangka pikir pribadi.

Membaca tidak diukur dari jumlah buku yang selesai dibaca, melainkan dari sejauh mana buku itu membentuk cara kita melihat dan memahami dunia.

Bagi yang ingin benar-benar “membaca untuk berpikir”, ingatlah: bukan kecepatan atau kuantitas yang menentukan, tetapi kedalaman interaksi kita dengan teks. Karena satu buku yang dicerna dengan cermat bisa lebih mengubah hidup daripada seratus buku yang hanya dilewati mata.