Musuh dalam Selimut Kabinet Merah Putih: Antara Realitas dan Ilusi Politik
Ilustrasi. (poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Boleh dibilang hasil pengamatan banyak WNI yang nyata merah putih jiwanya, mereka menengarai banyak musuh dalam selimut di pemerintahan Kabinet Merah Putih (KMB) yakni rombongan para "musuh rakyat" karena faktor fenomena sebelumnya sebagian dari kelompok dominan penggerogot uang rakyat dari sisi pandang "kira-kira" publik, yang beberapa diantaranya tetap bercokol didalam selimut KMP. Para eks terpapar namun lolos jerat, diantaranya Zulkifli Hasan, Airlangga Hartarto, 'Sri Mulyani', Budi Arie, Bahlil dan jauh sebelumnya oleh publik dikenal dengan kasus 'catatan buku merah' Tito Karnavian.
Kemudian ada lagi kah sosok busuk lainnya? Biarlah publik mengisi kolom daftar 'cacatan' catatan karena diproteksi Hak Kebebasan Menyampaikan Pendapat, lalu tentunya tidak haram andai "Muhaimin Kancil Man" masuk dalam jeroan cacat publik?
Sehingga idealnya cita cita Presiden RI ke 8 Prabowo patut dipertanyakan publik apakah realitas akan berhasil dimata anak bangsa umumnya dan dunia? Apakah tidak terganggu atau diganggu menuju agenda mulia 5 tahun masa jabatan?
Namun belakangan ada hembusan politik optimisme, trigger politcs melalui test water, terhadap musuh dalam selimut. Mimik politik api dalam sekam mulai dipadamkan, dengan pola nice politics secara step by step oleh Prabowo Sang Presiden RI. Hal pemadaman ini dimulai dari Immanuel (Noel) Wamenaker dan Yaqut bekas Menag RI para konco sejati Mr. King of lip service.
Pertanyaan publik apakah Prabowo akan tetap bertahan sekuat saat ini yang full mendapat dukungan Jokowi dan Jokowi lovers serta Kelompok 212 sekutu lama yang sempat berseteru "namun kini sudah mulai kembali". Maka, andai ada gejolak hembusan udara panas, jenis angin tersebut muncul dari mana. Tentunya bukan makhluk dari bulan.
Karena goncangan kecil aksi anti kebijakan politik KMP kemarin Senin, 25 Agustus 2025 lahir di depan gedung DPR RI lalu berakhir dengan digiringnya lebih kurang 150 orang ke Polda Metro Jaya, dan bisa dipastikan riak riak aksi politik dimaksud tidak memiliki benang merah dengan gerakan kelompok 212 dan tidak ada pengakuan atau indikasinya datang dari kelompok pro Jokowi, hanya identifikasi politik yang samar samar ini beraroma dari 'api dalam sekam' atau 'musuh dalam selimut' atau apa pun diistilahkan, merupakan wujud warming up menuju perlawanan dengan pola menunggangi momentum tepat waktu, yakni aksi adalah bentuk penolakan naiknya gaji wakil rakyat yang memang nota bene dirasakan oleh mayoritas DPR RI kurang representatif atau relatif malas reaktif 'menyonding' suara rakyat.
Lalu apakah aksi ini sebagai test water? Memiliki keterkaitan dengan rumor tentang masa kerja Presiden RI ke 8 yang "didikte cukup 2 (dua) tahun?" Lalu bakal bergulir ke sosok "aura memuakkan", tanaman yang sengaja ditanam dengan jenis duri dalam daging?
Biarkan saja "duri dalam daging" itu menusuk tubuh sang pemimpin, agar bisa segera dipangkas habis oleh publik pendukung Presiden RI yang memang tak henti-henti menunggu kapan panen raya tanaman anyir saat mengeluarkan taji dan racunnya. Sungguh masa-masa panen itu dinanti oleh barisan akar rumput nalar sehat nan lama sudah menyentuh kadar dengan 'level gregetan'.
Selebihnya sesuai pengamatan Pengamat yang kadang (sosok ini) di media disebut oleh sebagian umat pers sebagai 'pentolan 212' bahkan diberi gelar majas marjinal dan rasis oleh Rudi Kamri, pengamat sebagai tokoh "Geng Petamburan", bisa jadi karena pengamat dilatarbelakangi selaku eks Kadivhum DPP. 212 dan salah seorang 'orang dekat' Sang Ulama Besar di Puncak Tertinggi di Tanah Air bagi kalangan para tokoh ulama dan simpatisan 212 dan panutan beberapa kerabatnya ormas besar yang eksis lainnya, termasuk dan sayap sayap organisasi bentukan atau permisif dari Sang Imam Besar (TPM, KORLABI, TPUA dan API, GNPU) serta kelompok simpatisan lainnya yang menyebar dari Sabang-Merauke.
Maka hasil amatan kebijakan sosial dan politik secara seksama yang dihubungkan dengan berbagai gejala perkembangan dampak kekuatan (peta) dan diskursus politik tanah air, juga terilhami peribahasa "tidak ada kawan abadi dalam politik melainkan sekedar kepentingan". Maka pengamat ingin mengatakan, andai ada gerakan pengganggu kinerja KMP oleh kelompok dengan sinyal negatif, asumsi atau dugaan sementara mengarah kepada seorang tokoh yang karakteristiknya sarat dengan metode politik 'lip service.'
Kesimpulan akhir , 212 tidak bakal mendekati sosok pembohong kuadrat yang sulit tuk insaf, atau dengan kata lain dukungan politis 212 terhadap sosok "common enemy" tegas pengamat nyatakan mustahil, mirip keyakinan publik yang menolak segala metode upaya penolakan terhadap misteri digunakannya "Ijazah Palsu,".
Wallahu'alam, namanya juga politik? Tidak boleh stagnasi dari pupuk politik model klasik mantan para penguasa, yaitu Indonesia menuju keberhasilan cita cita konstitusi "adil dan sejahtera".

