Etika Kehidupan Berbangsa: Saraswati Memberi Contoh, Bagaimana Gibran?
Rahayu Saraswati
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Keputusan keponakan Presiden Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mundur dari DPR RI mengejutkan publik. Saraswati maju dari kursi empuk Anggota DPR RI dengan jabatan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI. Putri dari Pengusaha sukses Djoyohadikusumo, menanggalkan jabatannya secara sukarela setelah statemennya pada awal tahun 2025 dalam sebuah siniar dikritik publik.
Narasi yang pernah Ia lontarkan adalah, “generasi muda sebaiknya tidak terlalu bergantung pada pemerintah” tentu saja posisi realitas ekonomi yang dimiliki Saraswati sebagai anak konlomerat, tidak populer ditelinga masyarakat kecil umumnya.
Dari sisi politik hukum ketatanegaraan metode merendahkan diri pejabat publik dari jabatan yang diemban adalah berkesesuaian dengan tuntutan etika dan moralitas, akibat kesadaran dirinya karena pelanggaran etika, walaupun hanya keliru berdiplomasi, tidak perlu didesak dan dicaci maki lebih dulu secara berkepanjangan oleh publik.
Etika tahu diri dari Saraswati merupakan etika dan moral yang disyaratkan oleh TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Maka pertanyaan publik selanjutnya, "kapan etika dan moralitas yang dipercontohkan oleh Saraswati diikuti oleh Gibran", atau setidaknya oleh para Budjok untuk menjadi cermin kesadaran Gibran dan atau desakan oleh Jokowi selaku orang tua biologis ? Agar timbul kesadaran Gibran yang cacat konstitusi berdasarkan Putusan MKMK agar mengundutkan diri dari kursi RI 2 ?
Tentu saja andai Gubran mundur dari RI 2 Jokowi pun pasti bakal bangga punya anak teladan menghormati TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2021. Seperti bangganya Presiden RI ke 8 saat ini kepada keponakannya Rahayu Saraswati Djoyohadikusumo.
Pertanyaan serius lainnya, adakah Puan Puan dan Tuan Tuan 'legislator' yang merasa pernah melanggar etika atau selama menjadi wakil rakyat pernah menyakiti karena menelantarkan aspirasi rakyat sebagai cerobong asap? Maka monggo publik menunggu "keikhlasannya' untuk mengikuti jejak Rahayu Saraswati?

