Akumulasi Polemik Hukum Keluarga Jokowi: Antara Transparansi Publik dan Pertanggungjawaban Pidana

Ilustrasi. (poto/net).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Perihal negatif yang ada hubungannya dengan Jokowi dan keluarga terakumulasi beberapa perisitiwa hukum yang cukup menjadi perhatian dan perbincangan besar publik dikarenakan beraroma tindak kriminal. 

Kesemua ini diantaranya diawali ketidakpekaan penyelenggara negara (lintas pejabat publik) terhadap peran fungsi sosial kontrol terhadap keingintahuan tentang kebenaran informasi yang didapat oleh publik dari sejumlah isu yang terus berkembang setiap saat di setiap harinya di berbagai media sosial maupun dari berbagai media konvensional dan media mainstream, sehingga berujung   kegelisahan melalui kritisi, protes dan aksi massa, petisi oleh pada masyarakat bangsa ini dan ada yang berakhir nasibnya ditangan penyidik, bahkan ada yang berujung di penjara dan pasca keluar penjara mengulang kembali aksi protesnya. Tentu ini buah problematika penegakan hukum pihak aparat (behavior) yang tidak berprestasi, sehingga jauh dari rasa keadilan masyarakat umumnya. 

Diantaranya dan prioritas ketika para pejabat publik KPUD dan KPU RI ditemukan terkesan mengganjal keingintahuan publik tentang keberadaan persyaratan ijazah dan foto foto dokumentasi asli saat menerima dan mengklarifikasi serta memverifikasi persyaratan Jokowi di pilkada walikota Surakarta (2005 dan 2010), pilgub DKI Jakarta (2012) dan Pemilu Pilpres 2014 dan pemilu pilpres 2019.

Selain itu selain Gibran yang isunya hanya tamatan SMP selanjutnya bersekolah atau melanjutkan pendidikannya selama 4 tahun diluar negeri (Singapura 3 tahun dan Australia 1 tahun)  namun dikabarkan memiliki D1 laluy kemudian tercatat oleh KPU setara SMA ? 

Dan setelahnya terdapat kabar dari beberapa media pewarta disertai gambar Iriana istri Jokowi atau Ibu dari Gibran dengan titel 'dadakan' ijazah S1 dan S2.

Andai temuan ini benar Iriana yang dituduh menggunakan gelar palsu namun sebaliknya justru jika Iriana ternyata benar secara materil sesuai kegiatan akademik masa perkuliahan dan memenuhi syarat pencapaian gelar SE., MM. Maka kenapa Iriana yang bukan pejabat publik tidak melaporkan pengurus media pewarta atau sosok publik atau atau subjek hukum yang membuat berita “tuduhan” seolah Iriana pengguna gelar ijazah palsu?

Oleh karenanya sebagai bahan diskusi kalangan masyarakat hukum yang peduli penegakan hukum di tanah air demi kepastian hukum (faktor legalitas), penulis menganggap publik perlu mempelajari mengkaji dan mendalami aspek-aspek hukum pidana terkait peristiwa hukum yang ada terhadap Jokowi, Iriana dan Gibran.

Yang pertama perihal pertanggungjawaban hukum pidana oleh KPU yang seolah sengaja mengobstruksi informasi publik yang seharusnya sebagai lembaga publik yang terikat dengan asas transparansi dan khususnya dikaitkan dengan UU. RI Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelengara Negara Yang Harus Bersih Bebas dari Korupsi Kolusi Dan Nepotisme, sang kedua hal keberadaan kedua atas temuan publik bahwa Iriana diduga menggunakan dua gelar sarjana (S1 & S2) 'palsu'. Dan realitas kesemua temuan negatif terhadap Jokowi dan keluarga ini sudah menjadi temuan sepengetahuan umum publik atau identik menjadi acuan asas notoire feiten yang notorius.

Kupasan hukum oleh publik tentunya bukan dari sisi hukum perdata, oleh sebab merujuk yurisprudensi bahwa "hak keperdataan seseorang tidak hapus oleh sebab waktu atau hak keperdataan seseorang tidak mengenal daluarsa, maka dalam konteks hubungan hukum ini tentu perspektif hukumnya merupakan hak keperdataan seluruh WNI sebagai masing masing subjek hukum?

Namun diskusi hukum ini fokus dari sisi tinjauan hukum pidana, utamanya melibatkan  para pakar hukum, akademisi dan praktisi sebagai masyarakat yang konsen terhadap faktor penegakan hukum (law enforcement) atau para aktivis pemerhati dan pencari keadilan di tanah air.

Sehingga topik utamanya adalah dari sisi hukum pidana apakah hal hal perilaku dengan gejala obstruksi atau pembiaran  informasi yang melenceng daripada kewajiban pejabat publik yang seharusnya berkesesuaian dengan asas transparansi dan asas akuntabilitas sehingga melanggar asas objektifitas, oleh sebab hukum memiliki kompetensi kah publik secara individual atau kolektivitas (kelompok) melaporkan KPU di ranah pidana terhadap subjek hukum para eks pejabat publik dan yang masih menjabat sebagai komisioner KPU D. Surakarta, KPU DKI Jakarta dan KPU RI dan hirarkis Kemendagri dan para pejabat institusi hirarkis dibawahnya, seperti Kepala Dukcapil dan atau Lurah, dan atau camat dan atau setiap individu yang berhubungan dasar hukum pencantuman  gelar pada KK (Kartu Keluarga) dan atau KTP dan jenis jenis surat penting serta otentitas lainnya sehingga tertulis nama-nama dengan gelar atau status pendidikan yang disandang oleh Jokowi, Gibran dan Iriana.

Hal pertanggung jawaban dari sisi hukum pidana ini bukan lah hal yang sederhana, selain memiliki batasan tuntutan (Daluarsa vide Pasal 77 Jo. 78 KUHP/ UU. Nomor 1/ 1946), bangsa ini sudah merasakan dampak hukum dan implikasi kepada moralitas pemimpin dan kepemimpinan Jokowi dan Gibran. Selebihnya kewajiban bangsa ini untuk menjunjung tinggi adab dan moralitas selebihnya kepatuhan terhadap sistim hukum (rules) demi tujuan dan fungsi hukum (legalitas, utilitas dan justice). 

Lalu? Atau kah bangsa ini 'tidak pernah kapok' bakal memiliki sosok Gibran yang nyaris "podo wae karo bapake?" Yang kini tepat berdiri pada bibir kekuasaan dan bisa segera berposisi di RI-1 oleh sebab sistim konstitusi vide Pasal 8 UUD 1945 yang absurd untuk ditentang.