Studi Hukum Pidana: Peran Sanksi Ultimum Remedium dalam Penegakan Hukum
Ilustrasi. (poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP
Satuju.com - "Sebuah cita- cita dan perasaan jika" ambil gelar Program Doktor Hukum Pidana (S-3) 'akan' menyusun materi disertasi tuntutan mati terhadap Jokowi
Selain terhadap pelaku multi dimensi kejahatan (KKN dan delik umum) maka sita harta benda dalam bentuk barang bergerak termasuk uang tunai juga terhadap barang tidak bergerak termasuk mengambil kembali tanah pemberian negara ada sebuah kemungkinan.
Kerugian ekonomi negara, jika sekedar hukuman seumur hidup, selain tidak berkeadilan, tentu memberi makan penjara, menjaganya, merawat kesehatannya terhadap seorang napi sampai meninggal di sel hanya bakal menambah kerugian perekonomian negara.
Sehingga justru hukuman mati harus dipercepat, setelah proses PK (herziening) dan atau permohonan pengampunan (grasi) kepada diri terpidana yang memakan waktu cukup lama, juga mengantisipasi para pemimpin yang kelak berinisiatif memberikan amnesti atau abolisi kepada terpidana (perubahan politik), maka setelah putusan inkracht dan upaya-upaya hukum yang tersedia sudah dilakukan oleh si terpidana mati maka idealnya eksekusi mati mesti dipercepat.
Dan hukumam mati ini baik bagi "projek percontohan nasional" dibidang penegakan hukum, sebagai efek jera agar pemimpin kelak tidak berprilaku sama," andai dicontohkan" terhadap Jokowi yang jika proses tuntutan dilaksanakan terhadap dirinya, maka berkemungkinan besar jika terbukti dengan akumulasi pelanggaran dan tuntutan, maka kuat jika diprediksi secara hukum, bisa jadi bakal mendapatkan tuntutan hukuman mati atau seumur hidup.
Penerapan hukuman mati memang pantas mengingat jenis delik yang Jokowi lakukan selain ada beberapa kategori nepotisme ada juga beberapa kali obstruksi dan pembiaran terhadap perilaku korup dan pembiaran tidak adanya penuntasan proses hukum bagi kejahatan tindak pidana umum tekait adanyà korban nyawa 894 petugas KPPS pada Pilpres 2019 dan moord (unlawful killing) Tol KM 50 Cikampek, dan patut diduga Jokowi sebagai otak pelaku penjualan aset negara sebagai bagian tanah air bangsa dan Negara RI karena kekuasaan Jokowi adalah tertinggi dinegara ini (2014-2024), sehingga logika jabatan, maka mustahil Jokowi tidak mengetahui adanya jual beli perairan laut yang tidak diperbolehkan oleh sistim hukum. Dan Jokowi terikat dengan fiksi hukum (presumptio iures de iur) yang makna hukumnya "semua orang dianggap tahu tentang adanya hukum atau ketentuan terkait larangan dan ancaman hukuman" sekalipun selama hidupnya tinggal diatas pegunungan dan tidak tamat sekolah dasar.
Belum lagi kasus ijazah S-1 dan identitas biologisnya jika terbukti palsu, yang dilakukan secara sengaja dan berencana untuk membohongi 280 juta lebih penduduk bangsa ini, termasuk dugaan terjadinya "upaya makar" terhadap kedaulatan negara atas perairan laut.
Maka Jokowi sebagai bahan disertasi atau edukasi ilmiah yang layak dipertahankan dengan berbagai asas legalitas yang utamaya oleh sebab semua WNI harus tunduk kepada hukum dan hukum berlaku equal, selanjutnya merujuk dalil dalil hukum yang dihubungkan dengan berbagai pasal pasal pada kitab kitab (sistim hukum dan perundang-undangan) pidana yang berlaku berikut alasan pasal pemberat hukuman sesuai jabatan Jokowi yang pernah dia emban.
Bahwa yang bakal dituntut kepada sosok Jokowi bukan yang menyangkut diskresi politik yang pernah dilahirkan oleh Jokowi. Karena kebijakan yang pure politik sebagai kepala negara tentu tidak layak menjadi sebuah tuntutan hukuman penjara.
Sehingga logis dalam sebuah disertasi yang ilmiah termasuk sebagai kebutuhan sejarah hukum dan pola kepemimpinan Jokowi dengan judul disertasi, "Jokowi layak mendapat tuntutan dan vonis hukuman mati"
Dampak dari perilaku delik yang yang dilakukan oleh Jokowi tentu negatif karena nyata menimbulkan kerusakan, pastinya terhadap tatanan hukum, ekonomi politik dan adab budaya utamanya moral dan mentalitas kepemimpinan yang "perspektif" telah terjadi dan bakal terjadi serta berkepanjangan.
Sehingga butuh percontohan nasional dengan pola hukum mati Jokowi dan pihak keluarganya dan pihak lainnya yang kelak jika terbukti terlibat bekerjasama atau bersekongkol dengan segala tuduhan tindak pidana yang andai dapat dibuktikan telah dilakukan oleh Jokowi, maka tidak tertutup kemungkinan bagi para penyertanya (deelneming) yang ikut terlibat, semisal terhadap penggunaan ijasah palsu atau terhadap proses penyelewengan surat keputusan terkait izin official yang melalui birokrasi (eksekutif) dari tingkat desa, camat sampai bupati, menteri (kementrian) selain pengusaha konglomerat dan sebagaian dari para wakil rakyat (legislatif), sehingga diatas laut terbit sertipikat Hak Guna Usaha (HGU) dan setipikat Hak Milik (SHM).
Tentunya kesemua ini andai cukup alat bukti, merupakan sebuah pelanggaran atau kejahatan dan dalam teori dan asas asas hukum andai sistim hukum yang akan digunakan debatebel atau absurd penentuannya, maka pasal undang undang hukum pidana yang harus digunakan, sesuai Ultimum Remedium yang menempatkan sanksi pidana sebagai upaya terakhir (obat terakhir) setelah sanksi lain seperti sanksi administratif atau sanksi perdata tidak mampu mencapai tujuan penegakan hukum.
Dan begitu pula terkait asas Primum Remedium dimana hukum pidana dijadikan pilihan utama atau alat pertama dalam menangani suatu kasus pelanggaran, terutama untuk memberikan efek jera.
Dan terkait tujuan dan sifat fungsi hukum bahwa hukum itu bersifat kepastian selain efek jera dan fungsi keadilan, sehingga sesuai asas teori hukum 'mala in se', sesuatu perbuatan kejahatan adalah tetap kejahatan sampai kapan pun, maka harus ada kepastian hukum dengan proses atau tehnis sesuai hukum acara yang berkepastian dan bermuara sebuah putusan, walau kelak kepastian hukum akan didapatkan putusan peradilan (mahkamah) adalah daluarsa, pastinya bukan ditentukan dengan cukup melihat pasal 77 atau 78 KUHP (UU. RI Nomor 1 Tahun 1946) lalu cukup dinyatakan oleh aparat penegak hukum terhadap "Jokowi" adalah daluarsa.
Tidak seperti itu dalam praktiknya, namun tetap layaknya proses perkara yang bergulir umumnya sesuai KUHAP, dan berakhir dengan berkekuatan hukum tetap apapun bunyi vonisnya.
Dan oleh karena realitas, "perspektif yang berdasarkan notoire feiten terhadap Jokowi yang notorius ini, Jokowi belum diproses oleh pihak aparatur yang berwenaang atau belum ada piblik yang melaporkan tentu saja. Sementara perspektif melalui ilustrasi hukum ini hanya sekedar identik dengan cita cita atau angan angan atau sekedar perasaan (intuisif), karena tertera pada abstrak, " jika" ambil gelar Program Doktor Hukum Pidana (S-3) 'akan' menyusun materi disertasi tuntutan mati terhadap Jokowi.
Penulis adalah anggota Dewan Penasihat DPP KAI.
Kadivhum HAM dan Ketua LPBH KWRI & Jurnalis.
Pakar Ilmu Hukum Tentang Peran Serta Masyarakat dan Kebebasan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum.

