KPK dalam Pusaran Krisis Kepercayaan: Publik, Jokowi dan Bayang-Bayang Geng Solo
Ilustrasi. (poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Jakarta, Satuju.com - Nampaknya representatif imajinasi masyarakat yang peduli terhadap lembaga anti rasuah terkait perilaku anomali KPK dalam melaksanakan TUPOKSI mereka selama ini yang "dicatat" oleh publik tidak equal, tidak objektif dan tidak akuntabel, akhirnya bisa menjadi ledakan dahsyat melalui aksi para aktivis hari ini (2/10/2025).
Namun ledakan aksi "peran serta masyarakat" ini sesuai koridor yang dimintakan oleh sistim hukum dan perundang-undangan di tanah air.
Selain 'aksi' peduli peran serta masyarakat sesuai makna konstitusi 'rakyat berdaulat' yang diimplementasikan melalui wujud penyampaikan aspirasi "Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum". Dan titik kepedulian ini 'sementara' fokus di Gedung KPK. Karena isi gedung ini dirasa mubazir dalam mengemban amanah TUPOKSI dan 'uang rakyat' untuk gaji dan fasilitas serta tunjangan jabatan mereka.
Maka dikarenakan panasnya ubun-ubun para aktivis sebagai bagian kelompok masyarakat yang konsen peduli terhadap aparat penegak hukum di lembaga KPK niscaya tuntutan akan terus berlangsung hingga puncak ledakannya bisa saja meletus pada 9 Desember 2025, tepat pada hari anti korupsi dunia. Lalu top akhir sejarah politik hukum tanah air, apakah mirip Nepalisme ? Hal yang tidak didinginkan oleh nurani tentunya
Pada arah ke "titik nepal" ini idealnya Presiden RI hati hati jangan sampai aksi ini ditunggangi oleh para provokator ? Dan sisi pandang presiden mesti realistis, bahwa kekesalan masyarakat akan memuncak dan bertumpu pada KPK perihalnya adalah tidak terlepas dari sosok seorang Jokowi dengan perilakunya selama 1 dekade kemarin.
Dan para penguasa pengambil kebijakan pada sektor penegakan hukum aktif lapangan (Polri) yang (merupakan) sebagai bagian protes dan kritisi substansial aksi peduli hari ini, namun juga sebagai pendamping dan pengawalan terhadap peristiwa aksi ? Apakah Polri yang berada dibawah arahan Listyo Sigit pada saat aksi dapat berlaku setia kepada TUPOKSI mereka sesuai vide Juncto UU. No. 9/1998.
Pemahaman realistis terhadap aksi halal yang mengacu kepada sistim hukum politik ini, jangan sampai blunder, justru aksi dimanfaatkan pihak provokator oleh sebab inti tuntutan para aktivis diketahui selain kepada KPK namun bakal bermuara kepada sosok Jokowi dan Geng Solo.
Sehingga peta konflik akibat adanya aksi akan melahirkan rekayasa politik praktis, yang diciptamanfaatkan justru oleh "Geng Solo", diantaranya ada dua poin gejala yang terjadi:
1. Adu domba melalui faktor kepentingan sehingga ada politik 'karya cipta kisruh' yang dihubungkan dengan kondusifitas kinerja KMP dan hasil buah karya, yakni 'realitas kekacauan';
2. Dan politik pragmatis akan muncul oleh sebab peta konflik yang sengaja didesain melalui tebar janji kepada sosok siapapun yang dianggap "kapabel".
Maka pada kedua hal pure aksi yang berawal dari garis perjuangan akhirnya pupus, sifat aksi malah menciptakan kekuatan raksasa antara Prabowo, Jokowi dan semua kekuatan politik yang terlibat dan yang sempat terjerat oleh sosok Jokowi dan kebijakannya pada 1 dekade kemarin.
Bagaimana pola antisipasi untuk hal yang demikian tiada lain, kunci utamanya memberi pemahaman kepada Presiden RI melalui para tokoh ulama nasional dan para aktivis dan akademisi yang menjadi korban serta para aktivis dan kritikus yang riil konsen berjuang selama 10 tahun terakhir, bukan kumpulan para banci tampil, yang bisa ditipu oleh kekuasaan bahkan diantara para aktivis mesti selektif, jangan sampai ada eksis eks orang Jokowi selaku pejabat publik apapun jabatannya namun ikut kembali menyelinap?
Dan semoga negosiasi para tokoh bangsa dimaksud bisa meyakinkan Presiden Prabowo bahwa jabatan dan kekuasaannya akan didukung ibarat 'kepala jadi kaki, kaki jadi kepala', dengan harapan penegakan hukum prioritas terhadap Jokowi dan geng Solo sebatas para tokohnya (tidak diborong) menuju kondusifitas negara di segala sektor
Jika titik temu ini tidak tercapai, maka kondisi rawan (high risk) bisa terjadi, bangsa dan negara akan sengsara di bawah kekuatan dan perpaduan Geng Solo yang "telah kuat dan bersatu kembali."

