Damai Hari Lubis: Hakim MK Saldi Isra Bisa Dilaporkan ke Majelis Kehormatan

Damai Hari Lubis dan Hakim MK Saldi Isra

Jakarta, Satuju.com – Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik), Damai Hari Lubis, menilai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra dapat dilaporkan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Hal ini terkait ucapan Saldi yang dianggap tendensius saat mengomentari permohonan uji materiil Pasal 21 UU Tipikor oleh Hasto Kristiyanto melalui kuasa hukumnya.

Dalam persidangan, Saldi Isra sempat menyampaikan pernyataan, “Kalau pengacara cerdas, (kenapa) tidak mengajukan perubahan Pasal 21 UU Tipikor menggunakan jalur politik di DPR RI saja.” Menurut Damai, ucapan tersebut dapat ditafsirkan merendahkan profesi advokat dan keluar dari prinsip sikap hakim yang seharusnya objektif.

Lebih lanjut, Saldi juga menyinggung soal sikap DPR RI yang dalam sidang justru menyetujui permohonan pemohon. Saldi menilai hal tersebut jarang terjadi. “Ini memang agak jarang-jarang suasananya terjadi ada pemberi keterangan (dari DPR-RI) yang setuju dengan permohonan pemohon,” ujar Saldi dalam persidangan di Jakarta, Rabu (1/10/2025).

Damai Hari Lubis menegaskan, tidak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang tentang MK yang mewajibkan pihak termohon menolak permohonan pemohon terkait uji materiil. Karena itu, menurutnya, komentar hakim yang menyebut situasi tersebut “aneh” tidak tepat dan berpotensi menimbulkan persepsi publik bahwa hakim bersikap subjektif.

“Pernyataan seperti itu melanggar prinsip penyelenggaraan negara yang baik (good governance). Hakim terlihat angkuh, subjektif, dan tidak profesional, apalagi menyentuh soal kecerdasan yang dapat menyinggung intelektual advokat,” kata Damai dalam keterangannya.

Selain melaporkan ke MKMK, Damai juga menilai DPR RI melalui Komisi III berwenang untuk memanggil Hakim Saldi Isra guna mengklarifikasi pernyataannya di ruang sidang.

Sebelumnya, dalam sidang uji materi Pasal 21 UU Tipikor, DPR RI sebagai pihak termohon menyatakan setuju dengan permohonan Hasto. Hal ini kemudian menjadi sorotan karena dianggap jarang terjadi dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi.