Uji Materi Pasal 21 UU Tipikor: Mengapa Permohonan Hasto Relevan di MK
Ilustrasi. (poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Diketahui bahwa Hasto melalui kuasa hukumnya sedang menguji Pasal 21 Undang-Undang (UU) Tentang TIPIKOR UU. No.20 Tahun 2000 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU No. 31 TAHUN 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor.
Namun Kuasa Hukum Pemerintahan RI Leonard Simanjuntak, dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025) mengatakan bahwa pemohon (Hasto) tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing, untuk itu agar MK "Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima".
Tentu saja, penolakan terhadap hukum acara dengan menyatakan, "Hasto tidak memiliki kualitas hukum", adalah pendapat hukum yang keliru berdasarkan sistim hukum yang terdapat didalam Pasal 51 Undang Undang Tentang MK yang diantaranya menyebutkan yang dapat mengajukan permohonan uji materiil diantaranya adalah seseorang (individual) yang menurutnya (pasal) pada undang-undang tersebut telah merugikan hak konstitusi dirinya sebagai WNI.
Lalu terkait uji materil pada pokoknya adalah terhadap Pasal 21 UU Tipikor, pasal yang mengatur terkait perintangan penyidikan (obstruction of justice), dimana ancaman pidananya dalam kasus suap lebih tinggi dari pidana pokok yakni terhadap si 'pelaku suap' atau pemberi dan atau penerima suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi (obstruksi) kasus suap, seperti merusak barang bukti, diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
Maka tentu saja uji materiil (JR) ini relevan untuk dimohonkan oleh si Pemohon (Hasto).
Selebihnya DPR RI melalui daring, menyampaikan selaku Termohon menyetujui materi pokok (objek permohonan pemohon) dan hal pendapat 'setuju atau menerima', adalah hak termohon, karena tidak ada larangan dalam UU. MK jika termohon menyetujui objek permohonan dari si Pemohon.
Sehingga kembali kepada Majelis Hakim MK sebagai pemegang kuasa pemutus mutlak terhadap vonis, "apakah akan mengabulkan atau menolak permohonan dari Si Pemohon", terlebih mengingat dan menimbang bahwa Hakim menurut UU. Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, boleh bertindak progresif selaku alat kontrol sosial hukum dan sebagai penemu hukum oleh sebab fungsi dan tujuan hukum, yakni semata demi Kepastian Hukum (Legalitas) dan Keadilan (iustitia), dan keadilan adalah untuk semua orang bukan hanya untuk para pihak sesuai adagium hukum "Audi et alteram partem".

