Kebingungan Publik atas Keaslian Ijazah Jokowi: Antara Fakta dan Gugatan Hukum

Ilustrasi. (poto/net).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Ijazah milik Presiden RI ke-8 Prabowo Subianto sejak SD hingga AKMIL 100 prosen diyakini asli oleh seluruh anak bangsa ini.

Namun kontra-prediktif,  mayoritas publik meragukan keaslian ijazah Jokowi khususnya Ijasah S-1 nya dari fakultas Kehutanan Gajah Mada, prediktif asumsi ketidak percayaan publik sekitar 99, % (sembilan puluh sembilan koma prosen) Ijazah S-1 Jokowi adalah "REMANG-REMANG" walau diyakini identik oleh hasil penyelidikan mabes polri dan diakui oleh Rektor UGM.

Adapun pendapat hukum melalui topik judul artikel ini, hal keraguan disertai "dalil argumentatif", yang tidak melulu menurut 'perasaan (intuitif) namun berdasarkan kronologis (peristiwa hukum) yang dilalui oleh penulis dan kawan kawan aktivis, sehingga tidak sekedar subjektifitas belaka, namun ada bentuk upaya hukum sebagai wujud implementasi ketidakpercayaan publik yaitu adanya Gugatan Jokowi Ijazah S-1 Palsu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Laporan Dugaan Tindak Pidana melalui pengaduan DUMAS Mabes Polri, dan nota bene berkebetulan kedua konsep asli "representatif upaya hukum publik" terkait gugatan hukum dimaksud (perdata dan pidana) penulis yang membuatnya.

Dan alasan lain ketidakpercayaan publik disebabkan fenomena perkembangan proses penegakan hukum berlangsung 'telanjang' dengan gejala gejala hukum:

1. Jokowi kesulitan membuktikan keaslian ijazahnya, sesuai temuan publik yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Jokowi selaku pejabat publik penyelenggara negara terhadap hak individu publik yang mengacu pada beberapa ketentuan sistim hukum, diantaranya UU. Tentang KIP Jo. Pasal 16 UU. Tentang PDP;
2. KPU (Surakarta, DKI Jakarta) dan KPU RI tidak mau membantu publik (kontraproduktif) untuk data-data keaslian ijazah milik Jokowi, melainkan cenderung obstruktif;
3. Kemendiknas (Nadiem Makarim), Kemeninfo (Budi Arie) dan Setneg (Pratikno) pasif, atau lepas tangan, tidak perduli atas kegaduhan yang terjadi di tengah bangsa ini, terkait dugaan publik ijasah S-1 palsu sejak Jokowi menjabat Presiden RI;
4. Dan keraguan publik berdasarkan analisis temuan yang multi dimensi diantaranya dari sisi psikologis yang bersumber dari karakter Jokowi selama menjabat Presiden RI (2019-2024), serta;
5. Tidak adanya kejelasan yang sepatutnya tranparansi diumumkan oleh pihak penyidik terhadap hasil uji lab ijazah Jokowi yang telah disita sekian bulan lamanya.

Sehingga kecenderungan lalai dan atau disobedient para pejabat publik terhadap kewajiban selaku penyelengara negara juncto asas asas good governance, menjadikan unsur keyakinan (intuitif) menjadi bertambah kuat.

Dan terjadi kristalisasi keraguan terhadap Ijazah Jokowi saat Penulis bertemu langsung dengan Jokowi dirumah kediamannya di Jalan Kutai Nomor 1, Surakarta (Solo) pada 16 April 2025 yang disaksikan langsung oleh 2 (dua) orang rekan aktivis yang juga berprofesi sebagai advokat, dan bersama Penulis juga termasuk sebagai salah seorang 'subjek terlapor' (13 orang) atas dasar laporan Jokowi dan atau Jokowi lover, dan terhadap hasil pertemuan dimaksud, Penulis tuangkan sebagai bagian dari pada uraian BAP yang dibuat Penulis dihadapan Penyidik Bareskrim Mabes Polri dan Penyidik Reskrimum Polda Metro Jaya.

Isi dari (sebagian) yang penulis tuangkan dalam BAP dimaksud adalah realitas dialog saat bertemu pada 16 April 2025 bahwasanya Jokowi yang jelas mengatakan, "hanya S-1 saja dipermasalahkan bukan S-2 atau S-3" . Hal pernyataan ini diulang oleh Jokowi sebanyak 2 x (dua kali).

Selebihnya didalam BAP dihadapan Penyidik (Bareskrim dan Reskrimum) yang Penulis sampaikan adalah tentang dasar subjektifitas (keyakinan) Penulis, yakni selaku Ketua Korlabi yang juga selaku anggota TPUA bersama rekan-rekan TPUA melaporkan Jokowi (9/12/2025) di DUMAS Mabes Polri, dengan memiliki data empirik, yakni berupa bukti sesuai isi putusan inkracht (PN, PT dan MA) hasil persidangan Bambang Tri Mulyono dan Gus Nur di Pengadilan Negeri Surakarta, yang jika disimpulrangkumkan daripada bukti naskah vonis dimaksud, bahwasanya "JPU yang mengajukan bukti untuk membuktikan tuntutan terhadap pasal-pasal dakwaannya, tentang 'ujar kebencian, kabar bohong dan fitnah', ternyata JPU nihil kualitas hukum, selain oleh sebab hukum Jokowi tidak di BAP oleh Penyidik, dan tidak menjadi saksi korban dan tidak juga menjadi saksi korban dari pihak pelapor, serta JPU faktual tidak sanggup menghadirkan keberadaan bukti ijazah asli S-1 Jokowi termasuk Ijasah Asli SD, SMP dan SMA nya.

Oleh karenanya, Jokowi yang menjadi terduga publik melalui laporan TPUA di DUMAS Mabes Polri, menipu ratusan juta WNI sebagai anak bangsa, melalui pengakuan memiliki ijazah S-1 asli dari UGM sehingga hasil ijazah S-1 Jokowi berdasarkan hasil uji digital melalui laboratorium forensik harus diumumkan, dan dikarenakan sebelumnya SP3D telah diterbitkan oleh Penyidik Bareskrim atas laporan TPUA (9/12/2025) dengan tidak melalui proses secara fair (Kontra Perkappolri dan kontra KUHAP), sehingga otomatis Tim Penyelidik (Penyidik) Mabes Polri demi kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat, sedianya untuk mencabut SP3D dan melanjutkan penyelidikan ke tingkat penyidikan sesuai ketentuan sistim hukum dan bersamaan dengan Reskrimum mencabut Surat Penetapan terhadap 13 Orang Terlapor akibat laporan Jokowi dan "Jokowi Lovers".

Selanjutnya Penyidik Mabes Polri layak mengeluarkan surat penetapan status Tersangka (TSK) terhadap Jokowi dan para penyertanya, dikarenakan persyaratan Jokowi sebagai TSK sudah cukup berdasarkan temuan 2 (dua) alat bukti yang cukup yaitu barang bukti laporan palsu dan atau membuat Surat Keterangan Palsu dalam bentuk Ijazah yang digunakan dan para saksi dari pihak rektorat dan Dekanat UGM dan atau pihak KPU (KPU Surakarta, DKI Jakarta dan KPU RI.) dan kesemua proses hukum semata harus sesuai ketentuan KUHAP termasuk kewajiban Penyidik Polri menyelenggarakan dan mendapatkan hasil uji ijazah Jokowi secara digital dengan menggunakan laboratorium forensik Polri.

Maka sebelum adanya putusan inkracht van gewijsde dari badan peradilan dengan isi vonis bebas (onslag atau vrijspraak) terhadap Jokowi, untuk itu demi pertanggungjawaban moralitas dan hukum Jokowi terhadap seluruh bangsa ini dan termasuk kepada Presiden RI ke 8 Prabowo Subianto, yang priveleged (Jo. sejarah politik hukum yang melatarbelakangi), wajar dan ideal Presiden Prabowo menolak bertemu dengan Joko Widodo.