Damai Hari Lubis Luruskan UU Pers-lah yang Lex Specialis, Bukan Profesi Jurnalis

Damai Hari Lubis. (poto/ist).

Jakarta, Satuju.com — Pengamat Hukum dan Politik Mujahid 212, Damai Hari Lubis, meluruskan kesalahpahaman terkait pemberitaan sebelumnya yang menyebut dirinya mengatakan “jurnalis adalah lex specialis”.

Menurutnya, yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers-lah yang bersifat lex specialis, bukan profesi jurnalisnya.

Pernyataan itu disampaikan Damai Hari Lubis dalam acara Pendalaman Profesi Kejurnalistikan, Kode Etik Jurnalistik, Mobile Jurnalist Memahami Kaidah, Jurnalis dan UU Pers serta UU ITE yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Jaya Indonesia (FWJI) bersama Majelis Pers Indonesia, di Wisma Agra Muncar, Cisarua, Bogor, Jumat malam (4/10/2024).

“Yang lex specialis itu bukan jurnalisnya, tapi UU Pers. Artinya, UU Pers memiliki kedudukan khusus dalam mengatur kegiatan jurnalistik dibandingkan peraturan umum lainnya,” tegas Damai Hari Lubis.

Ia menjelaskan, sistem hukum di Indonesia masih belum tertata secara baik, sehingga sering menimbulkan kekacauan tafsir antaraturan hukum (overlapping). “Banyak sistem hukum dan perundang-undangan kita masih acak-acakan. Makna hukum positif atau ius constitutum sering hanya jadi isapan jempol,” ujarnya.

Damai menyoroti belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksana dari UU Pers, sehingga implementasinya selama ini hanya bertumpu pada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan internal organisasi pers. “Yang ada saat ini baru Peraturan Presiden (Perpres), bukan PP. Akibatnya, muncul multitafsir dan kesulitan dalam penegakan hukum pers,” ungkapnya.

Lebih lanjut, ia mengkritisi dominasi Dewan Pers yang seolah menjadi lembaga superbody dalam menentukan sah-tidaknya karya jurnalistik. Padahal, menurutnya, tanpa PP sebagai dasar hukum pelaksanaan UU Pers, posisi Dewan Pers menjadi rawan disalahartikan.

“Lex specialis kok bisa tunduk pada keputusan Dewan Pers? Atau malah keputusan Dewan Pers lebih tinggi dari UU? Ahli hukum pasti bingung 99 persen,” sindirnya.

Damai juga mengingatkan pentingnya organisasi-organisasi pers memiliki majelis pers internal yang berfungsi aktif menangani pengaduan masyarakat dan menyidangkan dugaan pelanggaran etik sebelum perkara dibawa ke ranah pidana. “Jika majelis pers menyatakan tidak ada pelanggaran UU Pers, maka penyidik seharusnya menghentikan perkara itu. Ini demi kepastian hukum dan perlindungan terhadap kebebasan pers,” tegasnya.

Ia menutup dengan seruan agar insan pers bersatu dan memperjuangkan kepastian hukum melalui pembentukan PP UU Pers atau revisi undang-undangnya. “Ini bukan hanya soal wartawan, tapi soal demokrasi bangsa dan kebebasan pers yang tidak boleh dikriminalisasi,” pungkas Damai Hari Lubis.