Fenomena Jokowisme: Antara Loyalitas Politik dan Bayang-Bayang Pengaruh Kekuasaan

Ilustrasi. (poto/net).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP Kebijakan Umum Hukum dan Politik)  

Satuju.com - Apa tujuan atau misi "penyebelah Jokowi (Jokowisme)" tetap radikal mempertahankan nama nama besar Jokowi, apakah agar penguasa kontemporer melanjutkan ide-ide Jokowi yang justru kontroversial dan membahayakan keselamatan bangsa dan negara terlebih strategi misi adalah khusus agar kursi RI 1 dapat diduduki oleh sosok Gibran pada Tahun 2034-2039. Atau kah sekedar Gibran Wapres RI pada 2024-2029 dan 2029-2034. Seperti apa yang pernah disampaikan oleh Jokowi, walau prematur bahkan pernyataan ini inkonstitusional dan selebihnya layaknya mendikte Prabowo selaku Presiden RI.

Oleh karenanya demi hukum dan antisipasi sejarah "moral dan mentalitas Jokowi yang dikenal buruk" yang tentunya gejala gejala politik hukumnya sudah menelan korban secara psikologis, diantaranya 12 orang terlapor terkait tuduhan Jokowi ijazah palsu, dan dampak negatifnya lainnya telah berkembang menjadi pro dan kontra diantara kelompok anak bangsa akibat berbagai pernyataan (provokatif) relawan Jokowi (Jokowi lover), lalu tidak mustahil implikasinya bakal meluas serta 'berkepanjangan'.

Maka strategi melalui diskursus politik Prabowo selaku Presiden RI layak untuk dipertimbangkan yakni solusi melalui kebijakan hukum (politik) dengan pola "memerintahkan aparatur hukum dibawahnya agar  mengamankan Jokowi" terlebih dahulu secara senyap dan seketika, lalu dimunculkan kembali dengan segala bukti bukti temuan yang konkrit serta kompleks terkait kecurigaan publik selama ini,  yakni perihal dugaan kuat Jokowi menggunakan Ijazah Palsu S-1 Fakultas Kehutanan UGM dan kecurigaan publik terhadap asal usul yang terdapat pada biografi Jokowi.

Ada pun Prabowo selaku Presiden RI mempercayakan Jokowi menjabat sebagai salah seorang Penasehat di BUMN (PT. DANANTARA) tentunya tidak terlepas dari biografi Jokowi yang dituduh publik palsu namun dianggap Presiden adalah asli?   

Pertimbangan lainnya terhadap solusi proses  "penghilangan Jokowi baiknya dilakukan secara kekeluargaan", agar suasana bangsa ini tetap kondusif dan stabilitas negara tetap terjamin. Selain negara melalui pihak penyidik bisa mendapatkan alat bukti yang konkrit untuk bahan proses persidangan pidana di peradilan umum dapat terpenuhi dan berjalan lancar. Atau kah proses persidangan melalui Mahmilub ?

Karena Jokowi effect memiliki beberapa bukti ada beberapa orang jenderal (purnawirawan) dilibatkan dalam PSN PIK 2 serta belakangan para purnawirawan ini diinformasikan kuat ditengarai "turut terlibat transaksi" terhadap wilayah perairan laut yang nota bene dilarang oleh sistem konstitusi.

Atas perilaku Jokowi jelas berdampak negatif,  implikasinya institusi TNI sedikit 'rusak' dimata publik, diantaranya sudah mendapat kecaman oleh beberapa rekan sesama Purnawirawan Jendral TNI. 

Oleh karenanya perilaku Jokowi ini bisa berdampak pelemahan institusi TNI dan bertambah kerusakan moral  yang terjadi pada aparatur negara,  andai saja tidak segera terbongkar jual beli perairan laut dengan pola menggunakan data manipulatif selain melibatkan beberapa konglomerat (stakeholder) dan Kepala Desa Kohod (Arsin) dengan modus bisnis (keuntungan) dan pola tindak kejahatannya menggunakan metode  pengurugan dan pemagaran laut. 

Lalu Jokowi effect selanjutnya jika memunculkan gerakan yang bisa berakibat pecah belah kesatuan dan persatuan anak bangsa, maka serius bahwa 90 % lebih anak bangsa ini diyakini akan menunggaling bersama TNI demi kepentingan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.

Maka demi mencegah jatuhnya korban fisik dan dampak negatif dengan segala kerusakan yang lebih luas, jika benar Jokowi pengguna ijazah S-1 Palsu sebaiknya "metode pengamanan" terhadap sosok Jokowi elegan segera dilakukan, oleh sebab segala bentuk perilaku kejahatan di negara yang berdasarkan hukum harus diselesaikan melalui proses sistim hukum yang berkepastian dan berkeadilan.