Ketika Kekuasaan Melampaui Hukum: Potret Buram Pemerintahan Jokowi
Ilustrasi. (poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Era kepemimpinan Jokowi diberbagai sektor:
Sektor Hukum dan Penegakannya amat miris, banyak ditemukan gejala gejala perilaku pelanggaran hukum (law behavior factor) yang dilakukan oleh penguasa melalui pembiaran (disobideint). Contoh, kematian 894 orang petugas KPPS pemilu pada pemilu Tahun 2019 dan peristiwa pembunuhan terhadap 6 orang laskar FPI di jalan Tol KM 50 Cikampek serta faktor penegakan hukum yang mengalami obstruksi atas kejahatan ekonomi (korupsi termasuk pemerasan) yang dilakukan oleh pejabat publik yang tidak dituntaskan justru malah (tetap) dipercaya menjadi orang-orang penting dikabinetnya. Misal, para pejabat penyelenggara negara yang berhubungan dengan kasus terkait projek BTS, termasuk kasus Firly Bahuri dan Ade Armando yang sudah TSK sekian tahun namun hingga kini status mereka secara hukum tidak berkejelasan atau tidak berkepastian hukum.
Sektor Politik (Hukum dan Budaya), pastinya dari sisi moralitas sangat rendah, estimasinya Jokowi puluhan kali bahkan bisa jadi 100 kali lebih berbohong, dan herannya anggota legislatif melakukan pembiaran terhadap role model negatif dimaksud, dan bagaimana bisa seorang menteri (menkopolhukam) terjun aktif bersama 6 institusi negara hanya untuk membubarkan sebuah ormas tanpa melalui proses lenbaga peradilan? Dan bisa-bisa-nya sang menko dimaksud berstatemen hukum "Pemerintah boleh melanggar hukum demi kepentingan rakyat", dan beberapa menteri secara terbuka menyampaikan rencana untuk melanggar UUD 1945 dengan wacana Jokowi 3 periode, melalui kebohongan yang membuat kegaduhan nasional karena menyatakan "adanya big data yang isinya 110 juta masyarakat bangsa ini menginginkan Pemilu ditunda, lacurnya ide pelanggaran sistim konstitusi ini mengalami "pembiaran" oleh para anggota legislatif selaku wakil rakyat yang berfungsi sebagai alat control, mengawal dan mengawasi pelaksanaan terhadap penyelenggara pemerintahanan (eksekutif) bahkan notabene mereka adalah sebuah unsur lembaga pembuat dan pengesah undang-undang, dan yang lebih anomali ada beberapa pimpinan lembaga legislatif yang justru menyetujui "ide gila dimaksud'.
Namun bangsa ini beruntung ada tokoh negarawati dari sebuah partai yang tegas menolak ide 3 periode tersebut karena nyata amat sangat bertentangan dengan induk konstitusi negara ini, dan historis politik pasca penolakan tercatat Sang Ibu negarawati ini "dikhianati oleh Jokowi dan Gibran Rakabumi Raka".
Sehingga dari sisi perspektif hukum, banyak fenomena "diskursus politik mirip teori konspirasi' antara eksekutif dan legislatif pada era Jokowi, termasuk tambahan ilustarasi sejarah hukum dan budaya (faktor moralitas), bahwa TAP MPR RI Nomor 25 Tahun 1966 dikangkangi oleh Keppres dan Inpres yang merupakan sistim hukum dua level dibawahnya, namun pelanggaran hukum administrasi negara tersebut di justifikasi (legitimed) oleh pihak yudikatif (Putusan Mahkamah Agung).
Sektor Ekonomi, informasi yang didapat publik, nilai (signifikan) plus pemerintahan di era Jokowi ada dibidang pembangunan infrastruktur jalan tol dengan penambahan panjang jalan tol yang mencapai hampir tiga kali lipat dari 780 km pada 2014 menjadi 2.200 km hingga akhir 2024.
Namun, berapa nilai utang Indonesia ke pihak swasta dan luar negeri (break down) dan berapa lama waktu untuk pelunasan utang dari pembangunan khusus infrastruktur jalan tol, tentunya diperlukan data spesifik yang sulit diterima informasinya secara transparansi. Sehingga tanpa informasi yang lebih spesifik, sulit untuk menentukan nilai utang yang berasal dari pihak swasta dan pinjamam luar negeri yang tepat untuk pembangunan infrastruktur jalan tol dan jangka waktu pelunasannya.
Selebihnya pada sektor ekonomi, banyak tidak jelas pertanggungjawaban keuangannya diantaranya mengenai anggaran terkait penanganan Covid 19, dan projek kereta api cepat Jakarta Bandung (whoos) dan kerugian dari hasil tambang dan sektor pajak, hingga isu pandora papers (dugaan tendensius pencucian uang), bahkan Jokowi selaku presiden masuk dalam daftar pemimpin negara terkorup versi OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project).

