Ceulangiek: Revisi UUPA Harus Kembali ke Ruh MoU Helsinki
Wakil ketua komisi 1 DPRA, Eks Kombatan Gerakan Aceh Merdeka.(Poto/ist).
Banda Aceh, Satuju.com - Dua dekade setelah penandatanganan MoU Helsinki, gema kesepakatan damai itu kembali menggema di ruang politik Aceh. Dalam pertemuan antara Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan Pemerintah Aceh di Pendopo Gubernur, Selasa malam (21/10/2025), Wakil Ketua Komisi I DPRA Rusyidi Mukhtar, S.Sos, atau Ceulangiek, menegaskan: revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) tak boleh bergeser dari semangat perdamaian yang lahir dari meja perundingan Helsinki, 15 Agustus 2005
“Revisi UUPA bukan sekadar soal regulasi, tapi menyangkut marwah dan identitas Aceh,” ujarnya tegas.
Nada suaranya tenang, tapi setiap kata mengandung peringatan politis.
Bagi Ceulangiek, revisi ini tidak bisa dikerjakan di balik meja Jakarta. Aceh, katanya, memiliki sejarah panjang yang diikat darah, air mata, dan perjuangan. Karena itu, pelibatan tokoh-tokoh lokal, para panglima wilayah, Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA), ulama, akademisi, hingga pemuda dan perempuan adalah keniscayaan, bukan pilihan.
“Revisi UUPA harus melibatkan mereka yang memahami perjalanan sejarah Aceh. RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) perlu digelar agar pembahasan ini tidak menyimpang dari semangat perjuangan rakyat,” katanya.
Ceulangiek bukan politisi karbitan. Ia mantan Ketua DPRK Bireuen sekaligus eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Batee Iliek—Bireuen. Pengalamannya di lapangan memberinya sensitivitas terhadap isu keadilan dan kedaulatan daerah. Karena itu, ia melihat revisi ini bukan sekadar upaya hukum, melainkan ujian moral bagi bangsa: apakah Indonesia masih menghormati perjanjian damai yang disepakati dua puluh tahun lalu.
“Keterlibatan pelaku sejarah penting agar tidak terjadi kejanggalan di kemudian hari. Ini bukan sekadar revisi hukum, tetapi tentang keberlanjutan cita-cita besar rakyat Aceh,” ujarnya.
Menurut data DPRA, sejauh ini tim revisi telah mengusulkan sembilan pasal perubahan, sedangkan Baleg DPR RI menambahkan 28 poin baru. Ceulangiek meminta agar penambahan itu tidak menjadi instrumen yang melemahkan Aceh.
“Kita ingin revisi ini menjadi kerja kolektif yang inklusif. Semua pihak harus duduk satu meja agar tidak ada pasal yang justru menggerus kewenangan Aceh,” tuturnya.
Ia menilai revisi UUPA justru seharusnya memperkuat posisi Aceh dalam otonomi khusus, memperjelas pembagian hasil sumber daya alam, serta mempertegas kewenangan daerah. Lebih dari itu, ia menekankan pentingnya perpanjangan dana Otsus sebagai fondasi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
“Revisi UUPA adalah mimpi masyarakat Aceh. Ini bukan hanya soal aturan, tapi soal masa depan Aceh dan keberlanjutan pembangunan berbasis kekhususan,” katanya.
Ceulangiek kemudian menutup pernyataannya dengan satu pesan yang terasa lebih sebagai janji sejarah:
“Setiap revisi harus tetap berpedoman pada poin-poin penting dalam MoU Helsinki. Tanpa itu, UUPA kehilangan ruhnya, dan Aceh kehilangan jiwanya.”
Di luar ruang rapat, malam Banda Aceh terasa tenang. Tapi di balik ketenangan itu, gema peringatan Ceulangiek menggantung:
perdamaian yang dibangun dengan dialog, harus dijaga dengan partisipasi — bukan sekadar dengan pasal.(M.Rifqi)

