Logika Santri: Antara Ilmu, Guru, dan Tuhan

Apel HARI SANTRI 2025, Pondok Pesantren Salafiyah Madani Bengkalis.(Poto/ist).

Satuju.com - Orang sering salah sangka. Mereka mengira santri menghormati kyai karena fanatik, padahal santri menghormati kiai justru karena alasan yang sangat logis.

Begini logika santri:

Jika ilmu adalah cahaya dan guru adalah lentera, maka menghormati guru adalah cara menjaga agar cahaya itu tidak padam.

Santri tahu, ilmu tidak datang semata dari kecerdasan, melainkan dari keberkahan.
Dan keberkahan itu punya jalur, punya adab, dan punya arah. Ia tidak bisa dipetik sembarangan seperti buah liar di tengah hutan ego.

Santri menghormati guru bukan karena menganggap gurunya suci, melainkan karena sadar—dari gurulah mengalir pengetahuan tentang Dzat Yang Maha Suci. Jika air ilmu itu mengalir dari sumber, maka menjaga sumbernya adalah bagian dari menjaga kejernihan.

Maka, ketika santri menunduk, itu bukan tanda taklid buta, melainkan bentuk kesadaran bahwa akal pun memiliki etika ketika mendekati cahaya.
Sebab, cahaya yang terlalu terang bisa membakar mata jika tidak ada tangan guru yang menuntun cara memandangnya.

Namun, bagi sebagian orang yang pikirannya mabuk oleh konsep “kebebasan berpikir”,
sikap menunduk santri dianggap feodal.
Menghormati ilmu dianggap “ngesot”.

Padahal, mereka pun juga menunduk—
bukan kepada guru, tapi kepada ego, tren, likes, komentar, popularitas, dan kebanggaan semu yang mereka namai “independensi”.

Santri bukan tidak berpikir kritis.
Justru karena mereka berpikir kritis, mereka tahu bahwa tidak semua hal bisa diukur dengan logika yang kering. Ada ruang halus dalam ilmu—tempat di mana logika berlutut kepada adab.

Seorang guru pernah berkata:

“Ilmu tanpa adab adalah kesesatan, dan adab tanpa ilmu adalah kebingungan.”

Santri memilih jalan di antara keduanya: berilmu dengan adab, dan beradab dengan ilmu.

Dan jika di mata dunia sikap itu disebut feodal—biarlah. Lebih baik disebut feodal karena menghormati, daripada disebut bebas tapi kehilangan rasa suci terhadap ilmu.

Sebab bagi santri, menghormati guru adalah bagian dari menghormati Tuhan.
Dari lisannya sang guru lahir pengetahuan tentang-Nya. Dan menghormati pengetahuan tentang Tuhan berarti menjaga agar hati tetap layak menerima cahaya-Nya.

Itulah logika santri.