Riau, Penghasil Sawit Terbesar Nasional yang Masih Seperti “Pengemis”

Ilustrasi. (poto/net).

Pekanbaru, Satuju.com — Provinsi Riau, yang hampir separuh wilayahnya ditutupi kebun kelapa sawit, kembali menjadi sorotan. Meski menjadi pemasok terbesar crude palm oil (CPO) nasional, daerah ini justru disebut belum menikmati manfaat ekonomi sebanding dengan kontribusinya.

Data Badan Pusat Statistik mencatat, sepanjang 2023 Riau memproduksi lebih dari 9 juta ton CPO, atau sekitar 20 persen dari kebutuhan nasional. Dengan harga CPO rata-rata Rp10.000 per kilogram, nilai ekonominya diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah per tahun.

Namun pemasukan yang masuk ke kas daerah dinilai sangat kecil. Dalam skema Dana Bagi Hasil (DBH) sawit), Pemerintah Provinsi Riau menerima Rp391 miliar pada 2023. Jumlah tersebut justru merosot tajam menjadi Rp96 miliar pada tahun berikutnya, atau turun lebih dari 70 persen, meski produksi sawit tetap tinggi.

Di sisi lain, pendapatan negara dari ekspor sawit nasional disebut mencapai lebih dari Rp600 triliun. Kondisi inilah yang memunculkan kritik bahwa Riau hanya dijadikan “ladang produksi” tanpa memperoleh kesejahteraan setimpal.

Infrastruktur Rusak, Layanan Publik Minim

Ketimpangan makin terasa ketika melihat kondisi masyarakat di wilayah perkebunan. Sejumlah desa penghasil sawit di Riau masih menghadapi akses jalan rusak, listrik tidak merata, fasilitas pendidikan terbatas, hingga minimnya tenaga kesehatan.

Satu ruas jalan kabupaten di wilayah seperti Rokan Hilir atau Pelalawan disebut bisa rusak hanya dalam satu tahun akibat aktivitas kendaraan berat perusahaan sawit. Perbaikan tetap menjadi beban pemerintah daerah, bukan perusahaan pemilik truk.

Perkebunan Ilegal Capai Satu Juta Hektare

Masalah lain muncul dari keberadaan lebih dari satu juta hektare kebun sawit ilegal yang tercatat Pemerintah Provinsi Riau. Perkebunan tersebut berada di kawasan hutan atau tidak memiliki izin resmi, sehingga tidak membayar pajak dan tak tercatat dalam sistem negara.

Dengan asumsi dua ton CPO per hektare per tahun, potensi produksi dari lahan ilegal diperkirakan mencapai dua juta ton, atau setara Rp20 triliun yang tidak masuk ke kas negara maupun daerah.

Sebagian kebun ilegal diduga dikelola korporasi besar atau jaringan mafia lahan yang memiliki koneksi dengan oknum pejabat.

Korupsi Menggerogoti Sektor Sawit

Kasus korupsi di sektor perkebunan juga memperburuk situasi. Kejaksaan Tinggi Riau beberapa waktu lalu menahan tersangka penggelapan pengelolaan kebun sawit seluas 500 hektare milik Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi.

Di Pelalawan, tiga pengurus koperasi sawit ditangkap karena laporan fiktif untuk mencairkan dana Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) hingga Rp1,25 miliar. Program yang seharusnya membantu petani kecil justru dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi.

Perusahaan Dominan, Petani Kecil Tertinggal

Sebagian besar kebun sawit di Riau dikuasai perusahaan besar dengan konsesi ribuan hingga puluhan ribu hektare. Sementara itu, petani kecil—baik plasma maupun swadaya—hanya mengelola satu hingga dua hektare dengan keterbatasan akses pupuk, modal, dan harga jual yang kerap dikendalikan pengepul.

Beberapa petani plasma memang bisa meningkatkan kesejahteraan, namun jumlahnya disebut tidak sebanding dengan banyaknya petani swadaya yang hidup pas-pasan.

Tuntutan Revisi Skema DBH Sawit

Melihat kondisi tersebut, sejumlah akademisi dan tokoh masyarakat mengusulkan reformasi sistem pembagian hasil sawit. Beberapa rekomendasi yang muncul antara lain:

DBH sawit minimal 10 persen dari nilai ekspor CPO yang berasal dari Riau.

Perusahaan dengan lahan lebih dari 5.000 hektare wajib menyisihkan dana pembangunan desa.

Provinsi penghasil sawit diberi kewenangan menetapkan pajak daerah khusus sebagai kompensasi kerusakan lingkungan dan infrastruktur.

Namun hingga kini, pemerintah pusat dinilai masih berhati-hati dengan alasan menjaga stabilitas investasi.

Harapan agar Sawit Menjadi Berkah, Bukan Beban

Pengamat menilai persoalan utama sawit bukan pada komoditasnya, tetapi ketimpangan distribusi keuntungan. Jika pengawasan ketat, transparansi anggaran, dan pembagian hasil yang adil diterapkan, sawit diyakini dapat menjadi penopang ekonomi masyarakat lokal.

Rakyat disebut tidak menuntut kemewahan, melainkan akses dasar seperti jalan layak, sekolah memadai, dan layanan kesehatan yang mudah diakses.