“Banding-Banding” Penanganan Kasus PT SPR, Ketua INPEST Kritik Kejati Riau
Ketua Lembaga Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST), Ir. Ganda Mora, SH, M.Si
Pekanbaru, Satuju.com – Ketua Lembaga Independen Pembawa Suara Transparansi (INPEST), Ir. Ganda Mora, SH, M.Si, mengkritik Penanganan kasus PT. SPR Riau cepat penanganya yang hanya merugikan negara 32 M sedangkan penanganan PT. SPRH Rohil sebesar Rp. 551 M masih kabur.. Kritik ini muncul setelah sidang perdana Direktur Utama PT SPR, Rahman Akil, dan Direktur Keuangan Debby Riauma Sary di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Pekanbaru, Jumat (5/12/2025). Kedua terdakwa didakwa melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara lebih dari Rp33,2 miliar.
Menurut Ganda Mora, sejak penetapan Rahman Direktur PT SPRH Rohil sebagai tersangka pada 16 September lalu, Publik belum mendapatkan kejelasan apakah kasus ini sudah dilimpahkan ke hakim. Sementara pihak-pihak lain yang diduga terlibat, termasuk oknum pengacara, direktur keuangan, dan bendahara, hingga kini belum memiliki status hukum jelas.
“Seolah-olah ini semua dilakukan untuk menyelamatkan pemegang saham utama. Penyidikan Kejati semakin kabur. Padahal duit Rp551 miliar bukan jumlah kecil, ini separuh APBD Rokan Hilir. Ada apa ini Kejati?” ungkap Ganda Mora. kepada Redaksi satuju.com. Sabtu ((6/12/2025).
Lebih jauh, Ganda Mora menekankan agar aparat penegak hukum, khususnya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau, bertindak adil, independen, dan tidak tebang pilih dalam menangani kasus hukum. Ia meminta agar kasus hukum tidak “banding-banding” dan semua pihak, tanpa memandang status sosial maupun politik, mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum.
“Penegakan hukum harus konsisten dan adil. Tidak ada alasan untuk berbeda perlakuan antara kasus kecil dan besar,” tegasnya.
Kasus ini berawal dari pendirian PT SPR Langgak sebagai anak perusahaan PT SPR pada 15 Oktober 2009. Dalam pengelolaan keuangan perusahaan dan kerja sama pengelolaan wilayah kerja migas Langgak dengan Kingswood Capital Limited (KCL), kedua terdakwa diduga menyalahgunakan kewenangan dengan menarik dana dari kas maupun rekening PT SPR tanpa dokumen pencairan sah, tidak sesuai Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan/Operasional (RKAP/RKAO), dan digunakan untuk kepentingan pribadi.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) M Ihsan Awaljon Putra dan Yuliana Sari menjelaskan bahwa Rahman dan Debby juga menunjuk konsultan hukum dan keuangan secara lisan, tanpa dokumen pendukung, serta memerintahkan pengakuan pendapatan over lifting dan kapitalisasi sebagian cost recovery untuk biaya jasa konsultasi secara tidak sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Praktik ini menyebabkan laba bersih PT SPR tercatat lebih tinggi dari kondisi sebenarnya sehingga pembagian jasa produksi menjadi lebih besar.
JPU merinci pihak-pihak yang diduga mendapat keuntungan, antara lain Rahman Akil Rp6,5 miliar, Debby Riauma Sary Rp9,8 miliar, Erwinta Marius Rp4,39 miliar, dan sejumlah nama lain dengan total kerugian negara mencapai Rp33,2 miliar serta USD 3.000, berdasarkan audit BPKP RI.
Atas perbuatannya, Rahman dan Debby dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Penasihat hukum kedua terdakwa menyatakan akan mengajukan nota keberatan (eksepsi). Sidang berikutnya dijadwalkan pada Kamis, 11 Desember 2025.
Ganda Mora menambahkan, publik kerap menilai penegakan hukum di Indonesia “pilih-pilih kasus”, di mana kasus korupsi kecil lebih cepat ditangani daripada kasus besar. Di PT SPR, misalnya, hanya satu bulan setelah penetapan tersangka, materi dakwaan sebesar Rp32 miliar sudah masuk persidangan, sementara kasus besar yang merugikan Rp551 miliar masih kabur statusnya.
“Ini persepsi publik yang harus dijawab oleh penegak hukum. Tidak ada alasan untuk berbeda perlakuan antara kasus kecil dan besar. Penegakan hukum harus adil, independen, dan transparan,” tegas Ganda Mora.
Kasus ini kembali menjadi sorotan karena nilai kerugian negara yang besar dan dugaan keterlibatan banyak pihak. Publik menunggu keadilan dan transparansi dalam proses persidangan agar tidak ada kesan penyelamatan pihak tertentu.

