Dilema Jokowi: Menjaga Pengaruh atau Merelakan Gibran Tenggelam

Jokowi dan Gibran

Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Akan kah Jokowi nekad perjuangkan Gibran diakhir hidupnya disaat dirinya sedang sakit sakitan?

Mungkin pertanyaan realistis para pengamat "andai validitas informasi yang disampaikan oleh sosok perempuan sekutu Hasto Kristiyanto, Connie Rahakundini Bakri, sosok yang saat ini eksil ke "negerinya Putin, 'sakin ketakutannya' kepada Jokowi. Terkait statemennya, ”ada pra perjanjian konspirasi  politik 'hanya 2 tahun Prabowo menjabat presiden". Maka andai info tersebut akurat, selain cacat hukum, yakin tidak bakal terjadi, sebab seorang nasionalisme sejati tidak bakal menyerahkan tanah air bangsa dan negara untuk dikelola oleh model sosok Gibran. Prabowo tidak bakal mau menyengsarakan rakyat bangsa ini.

Bahkan para titipan Jokowi yang di plot spesial mengawal Gibran RR andai dengan metode "secepat kilat" menuju RI 1, maka para titipan politikus dan pebisnis Bahlil, Budi Arie, LBP, Airlangga, Erick, Zulhas termasuk 9 naga apalagi Bobby Nst dan tentu termasuk "bocah pebisnis dan politikus karbitan, tidak bakal mendukung Gibran menuju RI 1 secara ekspress. Karena pola ini hal sama dengan mengundang high risk terhadap diri dan keluarga serta harta mereka dari 'amok massa', bahkan sekalipun konstitusional Gibran naik ke RI 1 akibat presiden berhalangan, Gibran dan kroni yang memiliki banyak 'kudis konstitusi', berpotensi bakal celaka 13.

Sisi pandang pengamat salah satunya bukti kekuatan politik dan kekuasan Presiden Prabowo, adalah: 

1. 8 aktivis TSK yakni Prof Eggi Cs tenyata perkaranya stagnan;
2. Menhan yang tegas dan keras berani menutup bandara illegal peninggalan Jokowi-Luhut di Morowali dengan team squad (TNI dan Polri).

Dan semua kebijakan nyata yang ada antara TNI dan partnership (tim skuad) dilapangan, yang sebelumnya ditengarai oleh publik pengamat antara kedua lembaga keamanan dan pertahanan negara ini 'agak agak tegang' namun kini, "mulai agak mesra dan kompak". Indikator ini sebagai sinyal kuat bahwa Kapolri yang nota bene "titipan" Jokowi, makna politiknya saat ini, semua berangsur tunduk dan dalam kendali  Presiden Prabowo.

Kesemua fenomena diskursus gejala gejala kekuatan yang didasari politik kekuasan ini telah menunjukan kepatuhan para pimpinan Polri dan TNI kepada Presiden. Namun sekedar menyisakan sedikit, diantaranya mirip para oknum berbaju coklat yang 'minta petunjuk' di sebuah kursi dan meja jati panjang artistik di jalan Kutai, Kota Solo yang juga pernah diekspansi 'diduduki' dalam kerangka investigasi 'peran serta masyarakat' oleh tiga orang anggota TPUA diantaranya Koordinator Advokat DHL (Penulis).

Lalu bicara politik dan kekuasaan tidak relevan dan tidak logis jika tidak menyentuh komplek di Senayan Kecamatan Tanah Abang jakarta Pusat, bahwa didalamnya eksis tokoh partai Gerindra sebagai representasi kuat komando Presiden Prabowo, yang solid dengan partai fraksi PDIP, "musuh bebuyutan Gibran-Jokowi".

Oleh karenanya peta kekuatan dan geo poltik Prabowo sudah kuat mencengkram termasuk di parlemen (legislatif). Sehingga diksi isu (asumtif) sinyal ancaman contoh kudeta atau drama kolosal dengan memanfaatkan isu aktual belum lama (peristiwa akhir Agustus-awal September 2025), maka jika diksi asumtif publik adanya drama kolosal dimaksud, maka tidak akan terulang kembali. Dan bila ada provokasi nekad ke arah kudeta, maka dampaknya antiklimaks kepada nasib Jokowi-Gibran cs. Karena pimpinan di tubuh TNI dan Polri ibarat pepatah, "Presiden Prabowo memegang kepala, sedangkan "presiden bekas" sekedar memegang ujung ekor. Maka mutatis mutandis enegi Jokowi bakal aus sesuai waktu yang terus berjalan.

Maka, Jokowi yang memang sudah semakin melemah, sehingga arah geo politik tanah air kontemporer serius 90 % lebih sejatinya solid ditangan Presiden Prabowo Subianto, termasuk para titipan Jokowi (kroni politikus dan pebisnis), namun minus 9 naga akan terus "mengintip" jatah yang mereka kuasai dalam kurun waktu 1 dekade era Jokowi dan era sebelumnya .

Selanjutnya tentang general pertanyaan publik, tentang "kapan penegakan hukum secara kompleks?". Maka publik butuh kesabaran. Dan konteks penegakan hukum sebenarnya pun nyata sudah dimulai, namun mengingat membersihkan residu dampak revolusi mental ala Jokowi mesti step by step sehingga terpaksa mesti "pilih tebang" agar tidak melahirkan instabilitas bangsa dan negara yang mubazir, karena kondusifitas bangsa dan negara merupakan prioritas.