Nuklir dan Masa Depan Pendidikan Sains Indonesia

Ilustrasi

Oleh: Andra Dihat Putra, S.Kom., FMVA. Economics and Policy Analyst.

Satuju.com - Setiap negara yang ingin melangkah ke frontier teknologi membutuhkan dua hal. Infrastruktur energi yang kuat dan sumber daya manusia yang mampu mengelolanya. Indonesia selama ini sering terjebak pada debat seputar apakah nuklir aman, mahal, atau sesuai kebutuhan.

Tetapi ada dimensi lain yang jarang dibahas. Jika Indonesia benar-benar membangun PLTN pertama, maka dampaknya tidak hanya pada listrik. Ia akan mengubah seluruh ekosistem pendidikan sains, riset, dan inovasi kita. Dengan kata lain, nuklir bukan hanya proyek energi. Ia adalah proyek peradaban.

Kesenjangan Pendidikan Sains Kita

Indonesia memiliki bonus demografi, tetapi kualitas pendidikannya belum sanggup mendukung transformasi ke ekonomi berbasis teknologi. Jumlah lulusan teknik, fisika, kimia, dan matematika masih jauh lebih rendah dibanding kebutuhan industri masa depan.

Laporan OECD menunjukkan kemampuan literasi sains siswa Indonesia berada di peringkat bawah selama lebih dari satu dekade. Kurikulum sering berubah, fasilitas laboratorium terbatas, dan riset jarang bertemu industri.

Dalam konteks ini, masuknya teknologi nuklir akan membuka kebutuhan baru yang tidak bisa ditunda. PLTN membutuhkan fisikawan reaktor, insinyur nuklir, ahli keselamatan radiasi, kimiawan material, teknisi instrumentasi, hingga analis keselamatan probabilistik.

Semua ini membutuhkan pendidikan dan pelatihan khusus yang belum banyak tersedia di dalam negeri. Ketika negara memutuskan membangun PLTN, maka sistem pendidikan harus berubah.

Nuklir sebagai Pemicu Perubahan Kurikulum STEM

Negara yang membangun PLTN biasanya memperbarui kurikulum sains mereka. Korea Selatan adalah contoh paling jelas. Sebelum membangun reaktor pertama pada 1970-an, mereka mengirim ribuan pelajar ke luar negeri, membangun lembaga riset KAERI, dan mengembangkan kurikulum fisika reaktor di universitas. Transformasi ini mempercepat kemajuan teknologi mereka secara keseluruhan.

Indonesia berpotensi melakukan hal serupa. Masuknya nuklir akan memaksa pendidikan sains menjadi lebih aplikatif dan berbasis laboratorium. Fisika tidak lagi berhenti pada soal gerak parabola, tetapi masuk ke fisika neutron, termohidrolik, dan material radiasi. Kimia tidak berhenti pada reaksi dasar, tetapi bergerak ke korosi reaktor, pendingin garam cair, atau pemisahan material bakar. Pelajaran matematika menjadi lebih konkret karena digunakan untuk menghitung risiko sistem dan simulasi reaktor.

Ini memerlukan kemampuan guru yang lebih baik, fasilitas laboratorium yang lebih lengkap, dan kolaborasi universitas dengan industri energi. Dengan kata lain, kehadiran nuklir akan memaksa kita meningkatkan kualitas pendidikan dari hulu ke hilir.

Mendorong Riset dan Ekosistem Inovasi

Riset di Indonesia selama ini sering terputus antara kampus, industri, dan pemerintah. Nuklir dapat menjadi pusat gravitasi baru yang menyatukan ketiganya. Tidak ada teknologi yang bisa berdiri tanpa riset berkelanjutan. Negara yang membangun PLTN biasanya menciptakan ekosistem riset terpadu. Jepang memiliki JAERI dan universitas riset nuklir. Prancis punya CEA yang menjadi salah satu lembaga riset terbaik di dunia.

Bila Indonesia membangun PLTN, kebutuhan riset akan meningkat signifikan. Kita perlu memahami perilaku gempa, karakteristik tanah, material yang tahan radiasi, desain sistem pendingin, hingga model keselamatan probabilitas rendah. Hal-hal seperti ini akan mendorong kolaborasi antar disiplin, mulai dari geologi, teknik sipil, fisika, hingga kecerdasan buatan untuk analisis data reaktor.

Nuklir pada akhirnya bukan hanya reaktor. Ia adalah pendorong peningkatan kualitas riset nasional.

Peluang Generasi Baru Tenaga Ahli

Salah satu dampak paling besar dari pembangunan PLTN adalah kesempatan karier yang luas. Tenaga ahli nuklir dibutuhkan puluhan tahun ke depan. Dengan dunia bergerak ke arah energi rendah karbon, kebutuhan SDM nuklir global meningkat. Indonesia dapat memanfaatkan peluang ini.

Jika PLTN dibangun, Indonesia akan membutuhkan ribuan tenaga ahli lokal. Ini bisa mendorong universitas membuka program baru, mengirim mahasiswa ke luar negeri, memperbaiki laboratorium, dan memperkuat kualitas dosen. Dalam jangka panjang, ini menciptakan rantai talenta sains yang sebelumnya tidak berkembang.

Selain itu, kehadiran industri nuklir akan mendorong munculnya spin off. Perusahaan kecil bisa bergerak di bidang instrumentasi, metrologi radiasi, teknologi medis nuklir, hingga bahan material tahan panas. Semua ini membuka peluang kerja bernilai tambah tinggi yang tidak bisa diciptakan oleh industri berbasis sumber daya alam.

Mengubah Cara Kita Memandang Sains

Salah satu tantangan terbesar pendidikan sains di Indonesia adalah minimnya budaya ilmiah. Sains sering dianggap sulit, jauh dari kehidupan sehari hari, dan tidak memberi peluang karier yang jelas. Kehadiran PLTN dapat mengubah persepsi ini. Ketika siswa tahu bahwa negara benar-benar membutuhkan ahli fisika reaktor atau ahli instrumentasi nuklir, maka belajar sains bukan lagi beban, melainkan kesempatan.

Negara seperti Cina dan India mengalami fenomena ini ketika mulai membangun industri teknologi tinggi. Anak muda memiliki aspirasi baru karena melihat bahwa menjadi ilmuwan bukan sekadar karier akademik, tetapi profesi strategis untuk masa depan bangsa. Indonesia dapat mengalami perubahan budaya yang sama.

Nuklir sering dibahas hanya dalam konteks listrik. Padahal dampaknya lebih luas dari itu. Nuklir dapat menggerakkan transformasi pendidikan sains, membangkitkan riset, dan menciptakan ekosistem talenta teknologi tinggi yang selama ini menjadi kelemahan kita. Jika Indonesia ingin melompat ke ekonomi berbasis teknologi, maka pendidikan sains harus diperkuat, dan nuklir adalah salah satu katalis terkuat untuk memulai proses itu.

Masa depan energi dan masa depan pendidikan sering berjalan berdampingan. Bila Indonesia berani melangkah ke energi nuklir, maka kita juga sedang melangkah ke masa depan ilmu pengetahuan yang lebih maju.