Massa Perempuan Ikut Aksi Unjur Rasa Tolak Relokasi Pulau Rempang: Kalian Perampok Kampung Kami!
Aksi unjuk rasa di Batam
Batam, Satuju.com - Unjuk rasa warga Pulau Rempang menolak relokasi imbas pembangunan Rempang Eco-city di depan Kantor BP Batam, Senin (11/9/2023) menyita perhatian publik. Salah satu hal yang menarik adalah hadirnya massa perempuan dalam aksi unju rasa tersebut. Mereka menolak penolakan terhadap relokasi secara paksa yang dilakukan.
Melansir tempo.co, seorag wanita yang sudah berumur 70 tahun ikut melakukan aksi unjuk rasa tersebut. “Kalian berada di kampung kami,” kata Siti Hawa.
Seperti perempuan lainnya, mereka serempak mengenakan baju kebaya melayu. Sebagian juga menggunakan masker. Tidak hanya ibu-ibu juga ada beberapa anak muda yang lantang bersuara.
Siti Hawa sendiri lahir di Kampung Sembulang, Pulau Rempang. Lokasi rumahnya menjadi target pertama pembangunan Rempang Eco-city. “Kampung kami sudah dipasang patok, kami tak berdaya sekarang ini,” kata Siti Hawa saat ikut aksi unjuk rasa yang berlangsung ricuh di depan kantor BP Batam, Senin 11 September 2023.
Siti hawa menjelaskan, kondisi di kampung Sembulang saat ini warga sudah disuruh mendaftarkan rumah mereka ke posko yang sudah disediakan. Warga disebut oleh pemerintah sudah setuju. "Mana ade, bohong semua itu, tak betol die cakap, kami disuruh daftarkan rumah, rumah kami macam mane," kata Siti Hawa dengan logat melayu yang kental.
Siti Hawa semakin takut saat ini, pasalnya semakin banyak aparat yang datang ke kampung. Setidaknya di Pulau Rempang sudah dipasang 5 posko tim gabungan. "Kami bise mati beridiri dibuat pak Rudi (Kepala BP Batam), betul-betul dizalimi, kami dinjak seperti sampah, betul-betul jahat," katanya.
Siti Hawa mengatakan, saat ini umurnya sudah 70 tahun ia merupakan anak bungsu dari keluarga besarnya. Ia lahir di Kampung Sembulang, hal itu membukti warga Rempang sudah ratusan tahun ada di Pulau Rempang. "Macam sampah kami ini, padahal nenek moyang kampi hampir 200 tahun di Sembulang Rempang ini," kata Siti.
Begitu juga yang dikatakan Kamarini. Kamarini terlihat juga ikut dalam unjuk rasa. Ia bahkan ikut berlarian menyelamatkan diri saat unjuk rasa mulai rusuh.
Kamarini memastikan diri untuk tidak mendaftkarkan rumahnya untuk di relokasi meskipun tengat waktunya sampai tanggal 20 September 2023 ini. "Saya tidak mau daftarkan, kami melawan tetap menolak, kami siap mati, walaupun kami diinjak seperti sampah," kata Kamarini.
Kamarini juga mengatakan, aparat gabungan di Pulau Rempang membuat mereka ketakukan. Ia berharap pasukan tersebut dipulangkan dari Pulau Rempang. "Kami mau hidup bebas seperti dulu. Kami mau tenang damai seperti dulu, kami tak mau dipindahkan dari kampung kami," katanya.
Kamarini menegaskan, sampai saat ini warga tidak menerima uang relokasi satu persen pun. Tetapi sudah disuruh pindah dari rumah dan kampung halaman mereka. "Tak dikasih uang, tak dikasih tempat tinggal layak, kami disuruh tinggal di rusun, sementara kami nelayan, mamak kami sudah 150 tahun di kampung ini," ujar warga Kampung Tanjung Banun, Pulau Rempang itu.
Unjuk rasa ini merupakan buntut dari rencana pengosongan lahan yang akan dijadikan kawasan Rempang Eco City. Pengosongan itu berujung kericuhan setelah massa melakukan aksi penolakan dengan memblokir jalan ke kawasan mereka.
Pada akhir Agustus lalu pemerintah menetapkan proyek pembangunan Rempang Eco City sebagai proyek strategis nasional. Kawasan ini akan dibangun berbagai macam industri, pariwisata, hingga perumahan di bawah pengembang PT Makmur Elok Graha yang merupakan anak perusahaan PT Artha Graha milik pengusaha Tommy Winata.
Warga menolak relokasi yang akan dilakukan pascapengosongan kawasan itu. Warga adat sekitar menyebut mereka telah ada di sana sejak 1934. Warga Pulau Rempang tak ingin kampung halamannya dihilangkan meskipun diberi tempat relokasi.
Adapun pemerintah memaksa untuk tetap melakukan pembangunan. Salah satu langkah awal adalah melakukan pematokan dan pengukuran lahan di Kampung Sembulang, Pulau Rempang. Kampung ini menjadi titik awal pembangunan pabrik kaca terbesar asal Cina bernama Xinyi Group.
Beberapa minggu belakang warga berhasil menahan petugas BP Batam untuk masuk melakukan pengukuran lahan. Karena menurut warga belum ada kesepakatan yang jelas hitam di atas putih.
Namun, pada Kamis pekan lalu aparat gabungan terdiri dari TNI, Polri, Satpol PP, Ditpam BP Batam, memaksa masuk. Dengan spontan warga menghadang di Jembatan 4 Barelang. Bentrok tidak bisa terelakkan. Tidak hanya warga yang menjadi korban, tetapi juga siswa sekolah hingga balita terkena gas air mata.

