Pengamat Sebut Ada yang Salah Dalam Tata Kelola Pangan Indonesia

Ilustrasi

Jakarta, Satuju.com - Dalam tata kelola kebijakan pangan Indonesia dinilai Direktur eksekutif Indef Esther Sri Astuti ada yang salah. 

Melansir kompas.com, hal itu tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat angka kemiskinan di Indonesia 2011-2024 turun 2 persen. Sementara di sisi lain, anggaran untuk bantuan sosial, termasuk bantuan pangan, naik hingga ratusan triliun rupiah.

Selain itu kata dia, pengadaan importasi khususnya pangan selalu naik setiap tahunnya. 

“Saya lihat nota keuangan, anggaran bansos dari tahun ke tahun tambah besar. Di 2009 hanya Rp 17 triliun, di 2024 sekitar Rp 496 triliun. Jadi angka kemiskinan turun, sementara bansos naik ratusan triliun,” ujar Esther dalam FGD Arah Kebijakan Pangan Indonesia Pasca Pemilu 2024 yang disiarkan melalui YouTube, Jumat (9/2/2024).

“Ini ada apa (ada yang salah)? Iya ada yang salah. Artinya kebijakan pangan ini harus dibuatkan lagi, jangan hanya mencari penyelesaian sementara saja, tapi juga jangka panjang,” sambungnya. 

Dia pun anggota ada 4 hal yang bisa menjadi perhatian pemerintah jika ingin memperbaiki kebijakan pangan di Tanah Air. Pertama adalah masalah yang memungkinkan lingkungan atau lingkungan yang memungkinkan dalam hal regulasi. 

Sebab dia menjelaskan, sering sekali petani ingin menanam namun ketersediaan pupuk minim. Kalau pun pupuk tersedia, harganya dibanderol mahal. “Sarana dan prasarana juga minim. Artinya regulasi untuk mendorong ketersediaan saran dan prasarana ini harus ada,” katanya.

Kedua adalah masalah karakteristik produksi atau karakter produksi. Dia mencontohkan seperti penanaman sawit. 

Pemerintah harus bisa mendorong produksi perkebunan rakyat sama dengan produksi perubahan agar bisa mendorong ekspor sawit yang lebih banyak. Manfaatnya adalah devisa negara juga akan semakin banyak. Ketiga adalah karakteristik pemasaran karena petani sering sekali sulit menjual hasilnya. 

Tak jarang juga petani yang menjual hasil panennya ke tengkulak yang membuat harga panennya jatuh.

“Hal ini jugalah yang membuat para petani tak mau anak-anaknya menjadi petani. Karena hasil dari petani itu sedikit, tidak bisa memenuhi kebutuhannya. Padahal karena dijualnya itu ke tengkulak,” jelas Esther. 

Sementara yang terakhir adalah sulitnya para petani bertahan karena tidak memiliki penghasilan tambahan selain dari hasil kebunnya. Padahal kata dia, petani yang bisa bertahan itu adalah petani yang memiliki pekerjaan lain selain dari hasil kebunnya. “Misal, entah jadi ojek atau pegawai lain. Kalau hanya bergantung pada hasil kebunnya, kebunnya juga produksi sedikit dan dijual lagi ke tengkulak, yang ada hasil kebun hanya untuk membayar utang. Jadi banyak petani yang enggak lagi bertani,” kata dia.

Diberitakan sebelumnya, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, pemerintah gencar menyalurkan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat. Anggaran yang dikeluarkan pemerintah tahun ini hampir sama dengan awal pandemi Covid-19 pada tahun 2020. 

Pada tahun 2024, pemerintah mengalokasikan Rp 496,8 triliun untuk perlindungan sosial (perlinsos), naik 13,1 persen dibandingkan tahun 2023 sebesar Rp 439,1 triliun. 

Sementara pada tahun 2021 dan 2022, pemerintah mengucurkan Rp 468 triliun dan Rp 460,6 triliun. Alokasi tersebut turun dibandingkan awal masa pandemi Covid-19 pada tahun 2020 sebesar Rp 498 triliun.