Sampai Jual Rumah di Masa Pensiun, Ini Kisah Mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso

Mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso

Satuju.com - Demi menjaga keutuhannya sebagai aparat negara, Imam Santoso dikenal sebagai polisi paling jujur. Kapolri periode 1968–1971 rela hidup miskin. 

Ia menolak segala godaan suap dan kemewahan. Presiden Megawati Soekarnoputri menobatkan Hoegeng sebagai Kapolri terbaik sepanjang masa.

Jenderal Hoegeng memang sangat idealis. Setelah pensiun dari Polri, ia bersama dengan tokoh-tokoh terkemuka nasional lainnya membuat Petisi 50 untuk memprotes penggunaan falsafah negara Pancasila oleh Presiden Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya.

Selain Hoegeng, tokoh-tokoh yang ikut menandatangani Petisi 50 di antaranya Jenderal Nasution, Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, Mohammad Natsir, dan lainnya.

Mereka menyatakan Soeharto menganggap dirinya sebagai pengejawantahan Pancasila, sehingga setiap kritik yang dialamatkan padanya dianggap sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila. Penguasa Orde Baru itu menggunakan “Pancasila” untuk menghabisi musuh-musuhnya.

Tapi, Soeharto yang sangat kuat saat itu berhasil menghentikan wacana Petisi 50. Setelah menggagalkan Petisi 50, Soeharto memasukkan tokoh-tokoh penting yang meneken petisi itu ke dalam daftar hitam atau daftar hitam dan mencabut hak-hak mereka.

Mereka diboikot oleh pemerintah hingga dikucilkan pada kehidupan ekonomi dan politiknya, bahkan mereka tidak diperbolehkan untuk keluar negeri. Kehidupan mereka juga selalu dibumbui secara ketat oleh aparat intelijen.

Hoegeng yang merupakan pensiunan Polri memang sejak dulu menjalani kehidupan sederhana. Namun, setelah Petisi 50 gagal, hidupnya semakin berat dan sulit mendapatkan uang di masa pensiunnya.

Pada akhirnya Hoegeng memutuskan untuk menjual rumahnya di kawasan elit Menteng, Jakarta lalu pindah ke Depok.

Rumah di Menteng dulunya merupakan kontrakan yang ditinggali Hoegeng dan keluarganya. Ia kemudian mampu membelinya.

Hoegeng terpaksa menjual rumah di Menteng kepada seorang pengusaha, Bambang Sujagad pada tahun 1998. Hasil penjualan rumah itu dibagi rata oleh Hoegeng kepada anak-anaknya.