Langkah Perdamaian? Kremlin Pertimbangkan Undangan Zelensky untuk Pertemuan Puncak Kedua
foto: Zelensky, Presiden Ukraina/(instagram/@kyivindependent_official)
SATUJU.COM - Kremlin pada Selasa (16/7) merespons dengan hati-hati terhadap undangan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk menghadiri pertemuan puncak perdamaian kedua.
Moskow menyatakan bahwa mereka perlu memahami maksud Kyiv terlebih dahulu sebelum hadir dalam pembicaraan tersebut.
Ini menunjukkan perkembangan yang menarik dalam dinamika konflik antara Rusia dan Ukraina, yang terus menjadi sorotan dunia.
Zelenskyy menyatakan pada Senin (15/7) bahwa Rusia "harus" hadir dalam pertemuan puncak perdamaian kedua mengenai konflik Ukraina.
Pernyataan ini disampaikan setelah Moskow absen dalam pertemuan tingkat tinggi di Swiss bulan lalu.
Saat itu, Rusia memberikan kritik tajam terhadap pertemuan tersebut dan menilai diskusi yang diadakan tanpa melibatkan mereka sebagai hal yang tidak masuk akal.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menanggapi komentar Zelenskyy dengan mengatakan bahwa "KTT perdamaian pertama bukanlah pertemuan puncak perdamaian sama sekali.
Jadi mungkin pertama-tama kami perlu memahami apa yang dimaksudnya," kepada saluran televisi Zvezda.
Sambutan Zelenskyy terhadap Rusia untuk turut serta dalam perundingan ini menunjukkan perubahan sikap yang cukup signifikan dibandingkan dengan konferensi di Swiss.
Sebelumnya, Zelenskyy secara tegas menolak mengundang Moskow. Komentar mengejutkan dari Kyiv ini muncul di saat pasukan Ukraina mengalami tekanan di garis depan dan menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat yang dapat mengubah dinamika konflik secara signifikan.
Pertemuan puncak perdamaian pertama yang berlangsung di Swiss pada 15 Juni dihadiri oleh para pemimpin dan pejabat tinggi dari lebih dari 90 negara.
Namun, China dan Rusia tidak hadir. Kremlin mengkritik pertemuan tersebut dengan tajam, menyatakan bahwa setiap diskusi untuk mengakhiri konflik tanpa melibatkan Rusia adalah hal yang "tidak masuk akal."
Washington pada Senin menyatakan dukungannya terhadap keputusan Ukraina untuk mengundang Rusia ke pertemuan puncak kedua. Namun, mereka meragukan apakah Moskow siap untuk melakukan pembicaraan.
"Ketika mereka ingin mengundang Rusia ke pertemuan puncak itu, tentu saja kami mendukungnya," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller kepada wartawan.
Menjelang pertemuan puncak bulan lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan bahwa dia terbuka untuk melakukan pembicaraan.
Ia berjanji akan mengumumkan gencatan senjata jika Kyiv menyerahkan wilayah yang diklaim oleh Moskow sebagai miliknya.
Namun, Zelensky menyebut tuntutan Putin itu sebagai “ultimatum” yang mengingatkan pada tuntutan Adolf Hitler, sementara para pendukung Ukraina di Barat, termasuk AS, merespons usulan Putin dengan sindiran.
Kyiv juga mengkhawatirkan kemungkinan kemenangan Donald Trump dalam pemilu AS pada November.
Trump mengklaim bisa mengakhiri konflik dengan cepat jika terpilih kembali sebagai presiden, sebuah pernyataan yang membuat Kyiv khawatir akan memaksanya bernegosiasi dengan Moskow dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Namun, Zelensky mengatakan bahwa dia “tidak khawatir” tentang kemungkinan Trump menang dan tetap mengandalkan dukungan Washington yang merupakan penyokong keuangan dan militer utama bagi Ukraina.
Pertemuan puncak perdamaian kedua ini menjadi penting dalam upaya menyelesaikan konflik antara Rusia dan Ukraina.
Sikap hati-hati dari Kremlin menunjukkan bahwa mereka mempertimbangkan banyak faktor sebelum memutuskan untuk hadir.
Dunia menantikan apakah langkah ini akan membawa perubahan positif dalam menyelesaikan konflik yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

