Pers, Profesionalisme dan Bayang-bayang Jeratan Hukum
pemimpin redaksi satuju.com
Oleh: Romi Fan Boy
Pembahasan tentang profesionalisme jurnalis selalu menjadi topik hangat untuk didiskusikan. Peran Serta pers sebagai sosial kontrol menjadi indikator penting menuntut produk pers harus berkualitas saat disajikan kehadapan publik.
Bahkan begitu besarnya peran pers, pers digadang sebagai pilar ke kempat demokrasi disejajarkan dengan legislatif,eksekutif dan yudikatif. Harapan untuk mengawal demokrasi dan kehidupan sosial mayarakat disematkan di pundak pegiat pers.
Pada praktiknya, predikat sebagai pers profesional kerap menjadi perdebatan di internal pers itu sendiri. Ada yang berpendapat wartawan profesional adalah wartawan yang telah lulus uji kompetensi dan mendapat predikat kompeten. Untuk yang belum lulus uji kompetensi atau tidak mengikuti uji kompetensi disebut wartawan yang tidak kompeten yang belum layak melaksanakan tugas kewartawanan, terlebih lagi jika media tempat wartawan itu bernaung belum terverifikasi di Dewan Pers, lengkap sudah predikat wartawan abal-abal atau wartawan bodong dilekatkan pada diri siwartawan, apalagi siwartawan itu terkena masalah hukum. Menjadi pembenar bahwa wartawan yang tidak memiliki sertifikat uji kompetensi adalah wartawan yang tidak berkualitas. Tak jarang pembunuhan karakter (character assassination) penghakiman melalui pers (trial by the press) terhadap wartawan yang tertimpa masalah hukum kerap terjadi, meskipun belum ada putusan tetap dari pengadilan yang menyatakan dia bersalah. Padahal hukum kita mengenal asas praduga tak bersalah.
Di pihak lain berpendapat sertifikat uji kompetensi bukan indikator tunggal seorang wartawan dapat dinyatakan profesional. Meskipun dia belum memiliki sertifikat uji kompetensi, bukan berarti tidak memahami kode etik wartawan. ilmu kewartawanan bisa saja di dapat dari berbagai pelatihan jurnalistik yang di ikutinya dan mendapat sertifikat dari pelatihan jurnalistik tersebut.
Mereka berpendapat mengikuti uji kompetensi bukan sebuah kewajiban, tetapi pilihan yang diambil oleh setiap wartawan. Karena tidak ada frasa dalam undang undang pers yang secara terang menyatakan 'wajib' yang boleh melakukan praktek kewartawanan adalah wartawan yang telah dinyatakan kompeten.
Tidak seperti profesi lainnya, yang mewajibkan harus lulus uji kompetensi baru bisa melakukan praktik. Dapat dicontohkan seperti profesi advokat, seseorang sarjana hukum belum boleh melakukan praktik advokat jika belum lulus Uji Praktik Advokat (UPA) dan diambil sumpah di pengadilan tinggi. Atau tenaga kesehatan belum bisa melakukan praktik jika belum lulus uji kompetensi. Mengapa bisa demikian? Karena diatur dengan jelas didalam undang-undangnya. Juga berdasarkan disiplin ilmunya.
Lantas bagaimana dengan profesi jurnalis? Seperti yang telah disinggung diatas, undang - undang pers tidak secara eksplisit menyatakan mengikuti uji kompetensi menjadi kewajiban. Begitu juga dengan ruang lingkup kewartawanan itu sendiri yang begitu luas mencakup semua disiplin ilmu. Kalau mau fair, ya revisi saja undang - undang pers tambah satu pasal yang menyatakan profesi wartawan wajib memiliki sertifikat kompetensi dan bergelar sarjana jurnalistik.
Jadi, Sertifikat uji kompetensi bukan indikator tunggal penentu seorang wartawan dapat dikatakan seorang profesional. Seorang wartawan dikatakan profesional dapat dilihat dari proses dia berburu berita yang selalu tunduk kepada kode etik jurnalistik sebagai standar moral dalam menjalankan tugas kewartawanan.
“Wartawan yang baik harus dibuktikan dengan prosesi kaya jurnalistik yang dia tulis”, kata Direktur Pekanbaru Journalis Center (PJC) Drs. Wahyudi El Panggabean saat memberi materi Kode Etik Jurnalistik pada pelatihan Jurnalistik yang penulis ikuti beberapa tahun silam. Quots tersebut hingga kini masih membekas bagi penulis sebagai pengingat agar tidak ‘tersesat’ dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Namun begitu, dari kedua kelompok yang berbeda pendapat itu, sepakat bahwa pegiat pers harus meningkatkan kualitasnya.
Menyingung pembunuhan karakter atau character assassination. Mengingatkan penulis akan berita yang heboh Minggu ini, adanya oknum wartawan yang di tangkap karena diduga melakukan tindak pidana pemerasan terhadap oknum anggota TNI.
Narasi yang berkembang, terjadinya tindak pidana pemerasan itu berawal pemberitaan oknum wartawan terkait kepemilikan gudang yang disebarluaskan melalui akun media sosialnya. Oknum TNI telah membantah bahwa bukan dia pemilik gudang tersebut, tetapi siwartawan tetap menyebarluaskannya dan mengancam akan melaporkan si oknum ke Mabes TNI. Untuk menghapus berita terjadi negosiasi harga, dari Rp35 juta menjadi Rp20 juta. Begitu kira-kira isi pemberitaan yang berseliweran di jagat Maya.
Dari sekian banyak berita yang penulis baca, ada hal menarik untuk di kupas. Pertama tidak ada yang menyebutkan usaha apa yang dilakukan di gudang tersebut? Kenapa oknum TNI mau menyerahkan sejumlah uang kepada siwartawan? Dan kenapa laporan yang masuk ke Polresta Pekanbaru tentang tindak pidana pemerasan? Kenapa tidak melaporkan dengan tuduhan pencemaran nama baik? Toh dia sudah menyangkal bahwa gudang tersebut bukan milik dia. Terkait materi pemberitaan, sudahkah meminta hak jawab terhadap isi pemberitaan yang dianggap tidak berimbang, tendensius, tidak melakukan konfirmasi atau hal lainnya yang dirasa merugikan bagi subject berita? Atau sudahkah dilaporkan ke dewan pers untuk diuji, berita yang diterbitkan wartawan melanggar kode etik atau bukan.
Untuk menjawab semua pertanyaan yang timbul, penulis berdiskusi singkat dengan praktisi hukum Advokat Dr. Yudi Krismen, SH., MH. Selain Advokat, beliau juga Dosen Fakultas Hukum di salah satu Universitas Ternama di Riau. Sebelum Memutuskan menjadi Advokat, beliau pernah berkarir di kepolisian Republik Indonesia sebagai penyidik, kemudian mengajukan pensiun dini.
Dari diskusi tersebut Dr Yudi Krismen menjabarkan mengenai hukum pidana. Bahwa untuk meneliti suatu tindak pidana harus dilihat secara keseluruhan fakta peristiwa yang menimbulkan tindak pidana. Dia tidak bisa berdiri sendiri, pasti ada faktor penyebabnya. Didalam teori hukum disebut dengan hukum kausalitas atau hukum sebab akibat. Artinya jika ada akibat, berarti ada sebab sebagai faktor pencetusnya.
Dr Yudi Krismen juga menjelaskan, dalam perkara Pidana alat bukti harus lebih terang dari cahaya, Ungkapan ini mengingatkan bagi penegak hukum akan pentingnya dalam menyingkap suatu tindak pidana. Alat bukti dalam pembuktian dalam perkara pidana harus mengandung kepastian yang terang dan jelas. Hukum tidak dapat ditegakkan dengan melawan hukum. Hukum harus ditegakkan melalui proses hukum yang wajar, adil dan jauh dari sifat kesewanang - wenangan.
Terkait adanya negosiasi antara oknum wartwan dengan oknum TNI untuk menghapus beritanya di media sosial, yang harus di perhatikan, siapa duluan yang meminta? Oknum wartawan atau oknum TNI? Hal ini menjadi penting, karena bisa berbeda penelaahan hukumnya. Jika yang meninta duluan adalah oknum wartawan, maka dapat dikenakan tuduhan pemerasan, tetapi jika yang meminta duluan adalah oknum TNI, maka akan berbeda hasilnya. Bisa jatuh kepada penyuapan. Pemerasan dan penyuapan memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap kedua belah pihak. Kalau pemerasan, jelas, sipemeras lah yang dikenakan pidana. Tetapi kalau penyuapan, tidak tertutup kemungkinan kedua-duanya dikenakan pidana.
Makanya kita harus tahu dulu fakta peristiwanya, seperti kapan si korban membuat laporan polisi adanya tindakan pemerasan? Kapan terjadi negosiasi harga? dan siapa duluan yang memulai, apakah si oknum wartawan duluan yang meminta pembayaran, atau si oknum TNI yang duluan menawarkan pembayaran untuk menghapus konten di media sosial oknum wartawan. Output dari keduanya sama, yakni penyerahan uang dari oknum TNI kepada Oknum wartawan, akan tetapi memiliki konsekuensi yang berbeda. karena untuk pemerasan ini merupakan delik aduan, artinya, polisi baru bisa bertindak jika ada pengaduan dari masyarakat. Makanya mejadi penting untuk mengetahui fakta peristiwanya. Demikian dijelaskan oleh Dr. Yudi Krismen, SH., MH kepada penulis.
Penasaran dengan apa sebenarnya aktivitas gudang yang dituduhkan dalam pemberitaan siwartawan, penulis menelusuri media sosial tiktok, penulis jumpai akun media @ direkturbasminews.net. pada foto profilnya terpajang foto yang mirip dengan oknum wartawan yang diberitakan. Dari konten-kontennya terlihat cuplikan berita-berita dari media oknum wartawan dalam bentuk tayangan slide diiringi dengan musik, juga konten-konten kegiatan keseharian sipemilik akun. Dalam akun tersebut terlihat ada 7 konten mengenai pemberitaan penimbunan BBM dan 1 konten cuplikan pembicaraan di aplikasi whatsapp. Kemungkinan, ini akun media sosial yang disebut-sebut dalam pemberitaan.
Jika benar ini akun media yang dimaksud dalam pemberitaan, apakah bisa polisi mengembangkan penyidikannya menyelidik aktivitas gudang yang disebut dalam pemberitaan siwartawan? Tanya penulis kepada Dr. Yudi Krismen.
Jika benar akun itu adalah akun media sosialnya, maka sepatutnya polisi melakukan penyelidikan terhadap aktifitas pergudangan itu, karena aktifitas penimbunan BBM tanpa memilki izin merupakan delik umum, artinya polisi dapat bertindak tanpa menunggu laporan dari masyarakat. Melalui perkara ini bisa menjadi pintu masuk bagi polisi untuk menyelidiki aktivitas gudang tersebut. Apakah benar terjadi penimbunan BBM secara ilegal atau tidak. Dari penyelidikan itu bisa saja terungkap fakta sebenarnya. Jika itu dilakukan penyidik, semua yang menjadi pertanyaan penulis akan terjawab. Tentunya menjadi perhatian kita bersama, melihat kemana arah penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Pada prinsipnya isi berita yang ditulis oleh wartawan mengandung unsur-unsur akademis, hal ini dilihat dari standar penulisan jurnalistik yang telah disepakati yakni, mengandung unsur 5W + 1H, wartawan dalam melakukan peliputan harus turun kelapangan, mengkonfirmasi pihak terkait terhadap informasi yang diterimanya , melakukan dokumentasi serta menganalisa data yang didapatnya hingga menghasilkan suatu produk jurnalistik yang siap disajikan kepada publik," kata penulis buku delik pers menjawab pertanyaan penulis.
Di penghujung diskusi antara penulis dengan Dr Yudi Krismen, ia berpesan, bahwa profesi wartawan adalah profesi yang mulia, melalui ujung penanya, dapat mengubah dunia, mengawal demokrasi, mengawal pemerintahan, bahkan bisa mengawal proses hukum. Dibalik kemuliaannya itu tak luput dari bayang-bayang jeratan hukum. Penyebabnya bisa saja karena perilaku oknumnya, atau bisa saja karena ulah segelintir orang yang merasa terusik karena tulisannya. Diibaratkan, menjalani profesi wartawan seperti berjalan di titian, jika salah melangkah maka tergelincir akan kedalam jurang. “Untuk itu, dalam menjalankan profesi wartawan, selalu berpegang kepada undang-undang pers dan kode etik jurnalistik," pesan Dr Yudi Krismen mengakhiri diskusi kami.
Sebuah pesan singkat tapi penuh dengan makna. Wallahu A'lam Bishawab.
Penulis merupakan pemimpin redaksi satuju.com

