Jika Pembatasan Beli Pertalite Serampangan, Bahaya Intai Ekonomi RI
Pertalite
Jakarta, Satuju.com - Mulai 1 Oktober 2024, pemerintah berencana melakukan investasi BBM bersubsidi pertalite. Ini mundur dari rencana awal 1 September.
Rencananya sudah dikonfirmasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Ia menjelaskan dasar peraturan perundang-undangan pertalite dan subsidi BBM akan berupa peraturan menteri (permen) ESDM.
Ia mengindikasikan peraturan yang mengatur subsidi BBM akan berlaku mulai 1 Oktober 2024.
Aturan mencakup subsidi BBM yang semula direncanakan tertuang dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Namun, pemerintah kemungkinan tidak melanjutkan proses revisi beleid tersebut.
“Memang ada rencana begitu (berlaku 1 Oktober), karena begitu aturannya keluar, permennya keluar kan itu ada waktu sosialisasi. Nah, waktu sosialisasi ini yang sedang saya bahas,” ujar Bahlil saat ditemui di Kompleks DPR RI beberapa waktu lalu.
Menurutnya, subsidi BBM harus tepat sasaran. Bahlil pun mengingatkan agar kendaraan roda empat, khususnya mobil mewah tak ikut minum pertalite. Ia menegaskan Pertalite hanya untuk mendefinisikan masyarakat menengah ke bawah.
“Kalau (mampu kayak) kita masih menerima subsidi BBM, apa kata bos dunia?” ucap Bahlil.
Kendati, Bahlil belum bisa membocorkan kriteria kendaraan seperti apa yang bakal diperbolehkan mendapat subsidi BBM. Ia mengatakan saat ini pembahasan masih terus berlanjut.
Dalam draf revisi Perpres Nomor 191 tahun 2014, salah satu kriteria pembatasan yang diusulkan yakni berdasarkan kapasitas mesin mobil. Rinciannya, untuk mobil di bawah 1.400 cubicle centimeter (cc) dan untuk motor di bawah 250 cc.
Artinya, mobil dan motor yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidak diperbolehkan menenggak BBM subsidi.
Pada kesempatan berbeda, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pembatasan memang perlu dilakukan.
Ia mengungkap dua alasan di pentingnya pembatasan itu. Pertama, persoalan polusi udara, terutama di kota besar seperti Jakarta. Kedua, demi efisiensi APBN.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menjelaskan pembatasan pembelian BBM subsidi sebenarnya adalah pengurangan volume pertalite di pasaran. Tujuannya, untuk mengurangi anggaran subsidi untuk Pertalite secara nasional.
Jadi, pembatasan pembelian pertalite adalah sisi lain dari pengurangan anggaran subsidi untuk BBM, tanpa menaikkan harganya di pasaran.
Meski demikian, dengan kacamata itu, Ronny mengatakan tentu imbasnya tak akan jauh berbeda dengan menaikkan harga pertalite. Pasalnya, dengan pembatasan tersebut, konsumen yang selama ini mengonsumsi pertalite mau tak mau harus bermigrasi ke BBM non subsidi yang harganya lebih mahal.
"Maka otomatis kelas menengah yang dikatakan oleh pemerintah tak layak menerima subsidi akan mengalami tambahan tekanan daya beli. Untuk menyikapi itu, kelompok yang akan kehilangan fasilitas BBM subsidi ini bisa saja berhenti menggunakan kendaraan dan beralih ke moda transportasi lain, sehingga pendapatannya tidak tertekan," jelas Ronny kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/9).
"Tapi bisa juga tetap menggunakan kendaraan, dengan keharusan untuk bermigrasi ke BBM non subsidi, lalu mengalami tekanan pada pendapatannya," imbuhnya.
Menurut dia, pilihan itu berisiko. Dengan pendapatan yang tidak naik, maka konsumsi atas kebutuhan lain berpotensi dihentikan atau disubstitusikan dengan barang atau jasa yang lebih murah harganya. Hal itu bisa berdampak ke ekonomi dalam negeri.
Pasalnya, tekanan itu bisa memicu penurunan konsumsi rumah tangga dari kelas menengah yang kehilangan subsidi BBM.
Sementara bagi kelompok usaha yang kehilangan fasilitas BBM subsidi, Ronny mengatakan mereka tentu akan menaikkan harga produk dan jasa yang mereka produksi.
Contohnya, jika usaha yang dijalankan adalah jasa transportasi, maka biaya transportasi akan naik. Sementara jika usahanya adalah UMKM makanan, maka harga makanan yang mereka produksi akan naik atau volume dan ukurannya akan dikurangi.
Artinya, pembatasan penjualan Pertalite memang memiliki potensi menaikkan harga-harga barang dan jasa tertentu di satu sisi dan menekan daya beli masyarakat di sisi lain.
Oleh sebab itu, Ronny menyampaikan jalan terbaik agar pembatasan pembelian BBM subsidi tidak memberatkan masyarakat adalah penerimanya harus benar-benar pihak yang tepat. Begitu juga tambahnya, dengan kelompok yang dibatasi.
“Dengan kata lain, mekanismenya harus benar-benar jelas di satu sisi dan berdasarkankan data yang juga jelas di sisi lain, sehingga benar-benar tepat sasaran,” tegasnya.
Agar kebijakan itu bisa tepat, ia menyarankan sejumlah opsi, di antaranya dengan sistem kartu, aplikasi seperti My Pertamina, pengawasan jenis kendaraan dan jenis konsumen, dan sejenisnya. Hal ini guna memastikan ketepatan dan akurasi data agar subsidi tidak salah sasaran.
Ia menilai kebijakan ini bisa dimulai kapan saja jika mekanismenya sudah jelas, sistemnya sudah ada, dan datanya sudah akurat. Kebijakan juga harus didahului dengan sosialisasi dan edukasi masyarakat yang masif.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut cara terbaik pelaksanaan akuisisi subsidi BBM agar tak memukul daya beli konsumen adalah dengan sinkronisasi identitas kendaraan dengan cc di atas 2.000 cc.
Menurutnya, itu merupakan teknologi pengawasan yang jauh lebih efektif.
“Kalaupun ada pemalsuan plat nomor mobil misalnya sanksi harus tegas,” tutur Bhima.
Ia menyebut pengendara roda dua masih sangat sensitif karena kelas menengah bahkan rentan membutuhkan Pertalite. Maka, Bhima menyarankan untuk mengambil tindakan yang bisa dilakukan secara bertahap.
Untuk tahap awal, tindakan mungkin bisa dilakukan pada ponsel dulu. Sementara untuk pengguna motor, tak langsung dilakukan.
Bhima menambahkan sinkronisasi data juga menjadi hal penting. Menurutnya, selama ini penerima data bantuan di data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) dengan pemilik kendaraan bermotor belum sinkron.
“Kan enggak perlu cari data baru, cukup Pertamina minta ke Kemensos (Kementerian Sosial) untuk pencocokan data,” kata Bhima.
“Kemudian soal sosialisasi dan persiapan teknis sebaiknya dilakukan pilot project minimal 3 bulan di beberapa wilayah Jawa dan luar Jawa,” imbuhnya.

