WALHI Sebut Bangka Belitung Terjadi Bencana Ekologis karena Tambang Timah di Sidang Harvey Moeis
Sidang korupsi timah yang menjerat Harvey Moeis
Jakarta, Satuju.com - Sidang korupsi yang menjerat Harvey Moeis, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta, dan Direktur Pengembangan PT RBT, Reza Andriansyah kembali digelar Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat . Pada sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung (JPU Kejagung) menghadirkan dua saksi dari WALHI Bangka Belitung.
Dalam kesaksiannya, Direktur WALHI Bangka Belitung, Ahmad Subhan Hafiz, menyebut Provinsi Bangka Belitung saat ini sedang mengalami krisis iklim akibat aktivitas penambangan timah.
“Di Bangka Belitung terjadi bencana ekologis, ini bukan faktor alam tapi kerusakan yang disebabkan aktivitas manusia,” kata dia di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat, Kamis, 17 Oktober 2024.
Menurut dia, sekitar 167 ribu hektar lahan mengalami krisis akibat aktivitas penambangan, yang saat ini dimulai, pertambangan di Provinsi Bangka Belitung tidak hanya dilakukan secara masif di kawasan hutan, tetapi sudah meluas ke wilayah pantai pesisir.
Tidak hanya itu, Bangka Belitung terancam banjir dan kekeringan. Pasalnya, pada tahun 2015-2021, ada sekitar 3 ribu hektar lahan yang mengalami krisis, daerah aliran sungai (DAS) juga mengalami kerusakan secara masif. Sebab, ada lebih dari 200 sungai yang rusak karena praktik pertambangan.
Pada tahun 2022, terdapat 210 ribu hektare lubang bekas tambang yang mengeluarkan radiasi dan menyebabkan hilangnya sumber air bersih. “Zona penyangga di laut dan hutan habis karena ekspansi pertambangan ini,” ujarnya.
Beberapa pulau di Bangka Belitung, kata Hafiz, sudah mengalami abrasi parah dan terancam tenggelam sehingga WALHI mengalami kesulitan dalam memitigasi krisis iklim tersebut. “Kami sulit memitigasi krisis iklim ini karena lubang tambang ini banyak,” kata dia.
Dalam perkara ini, Harvey Moeis didakwa menerima uang Rp 420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sementara Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp 4,57 triliun dari kasus yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun itu.
Keduanya juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima. Dengan demikian, Harvey dan Suparta terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sementara itu, Reza tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun karena terlibat serta mengungkap dan membenarkan segala perbuatan korupsi itu, Reza didakwakan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

