Sudah Inkrah: Ketum PETIR Desak Kejagung RI Lakukan Eksekusi PT JJP di Rohil, Rp491 Miliar Harus Masuk Kas Negara
Ket. Poto: PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP) di Kabupaten Rokan Hilir dan Organisasi Masyarakat Pemuda Tri Karya (Ormas PETIR). (Poto/istimewa/satuju.com).
PEKANBARU, Satuju.com - Organisasi Masyarakat Pemuda Tri Karya (Ormas PETIR) mendesak Kejagung RI menyita ganti rugi materiil sebesar Rp491 miliar sebagai tindak lanjut eksekusi pengadilan dalam kasus perdata kebakaran hutan dan lahan seluas 1.000 hektare yang dilakukan oleh PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP ) di Kabupaten Rokan Hilir pada tahun 2015 lalu
Ketum Ormas PETIR Jackson Sihombing kepada satuju.com menyayangkan sikap Kementrian kehutanan seakan membiarkan PT. Jatim Jaya Perkasa yang lambat untuk menindak lanjuti putusan Mahkamah Agung. Padahal menurut Jackson, putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap.
"Pihak KLHK lamban dan tidak tegas dalam keputusan ini, sehingga berlarut larut. Kerugian materiil yang belum dibayarkan PT Jatim Jaya perkasa Totalnya Rp 491 miliar," sebut Jackson. Selasa (29/10/24).
Dimana lanjut Jackson, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 728 PK/PDT/2020 Jo. Putusan Mahkamah Agung No.1095 K/PDT/2018, Jo. Putusan PT DKI Jakarta No. 727/PDT/2016/PT/PT.DKI dan Jo. PN Jakarta Utara No.108/Pdt.G/2015/PN. Jkt.Utr, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Jackson menilai dan melihat secara mengejutkan, apabila Kementerian Lingkungan Hidup mempunyai wewenang secara perdata, maka Kejaksaan Agung RI harus mengambil sisi pidananya.
“Agar eksekusi berjalan dengan baik, mendesak Kejaksaan Agung RI harus mengambil sikap, karena atas dasar putusan MA tersebut, PT Jatim Jaya perkasa sudah merugikan perekonomian negara,” ujar Jackson.
Dalam uraian kesimpulan sambung Jackson, bahwa eksekusi eksekusi PT Jatim Jaya perkasa terkait dengan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 9 Juni 2016 No. 108/Pdt.G/2015/PN. Jkt.Utr dengan amar keputusan yaitu menghukum PT Jatim Jaya Perkasa untuk membayar ganti rugi materiil secara tunai melalui rekening Kas Negara sebesar Rp 7.196.188.475,00.
Kemudian sebut Jackson, pemerintah memerintahkan melakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas 120 hektar dengan biaya sebesar Rp 22.277.130.853,00 sehingga lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan peraturan-undangan.
Namun PT Jatim Jaya Perkasa, malah mengajukan upaya banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No. 108/Pdt.G/2015/PN. Jkt. Pada tanggal 10 Maret 2017 lalu.
Pada tingkat pengadilan Tinggi, Majelis Hakim dalam amar putusan perkara No. 727/PDT/2016/PT/PT.DKI menghukum PT Jatim Jaya Perkasa untuk membayar ganti rugi materiil sejumlah Rp491.025.500.000,00 yang terdiri dari ganti rugi materiil Rp119. 888.500.000,00, tindakan pemulihan lingkungan sebesar Rp371.137.000.000,00.
PT JJP juga dihukum membayar uang paksa (dwangsom) sejumlah Rp25.000.000,00 per hari atas keterlambatan dalam melakukan tindakan pemulihan lingkungan.
Terkait itu, Dodi Kurniawan Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerian LHK, melalui Staf Bidang Penyelesaian Sengketa lingkungan hidup KLHK bernama Vitri, menyebutkan kepada awak media, mengaku sudah berusaha mendesak PT Jatim Jaya Perkasa (JPP) untuk membayar pembebasan pengadilan tersebut.
“Kita sudah mendesak, agar biaya penyelesaian tersebut diberikan secara sukarela, namun pihak PT Jatim Jaya perkasa sampai saat ini tidak ada tindak lanjut terkait pembayaran uang kerugian materiil tersebut,” ujarnya.
Upaya yang dilakukan Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sudah menyurati Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk melakukan eksekusi.
Karena pihak PT Jatim Jaya Perkasa tidak mau membayar uang tersebut, maka kami sudah mengajukan untuk Eksekusi penyertaan HGU ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, dengan permohonan sita eksekusi HGU PT Jatim Jaya Perkasa seluas 8200 hektare ke PN Jakarta Utara dengan nomor S.64/PSLH /MP/GKM.3.27/B/07/2024, sejak tanggal 22 Juli tahun 2024. karena itu kewenangan Pengadilan," pungkas Vitri.

