Penjelasan Wali Nikah Bagi Wanita Mualaf

Ilustrasi

Satuju.com - Mualaf adalah istilah untuk orang yang baru memeluk agama Islam setelah sebelumnya memeluk agama lain. Dalam islam wanita mualaf merupakan wanita yang baru saja mendapatkan percikan cahaya hidayah dari Allah SWT.

Sama seperti kita ketahui, dibalik prosesi sakral pernikahan ini terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi, salah satunya adalah wali nikah yang beragama Islam.

Dalam kasus wanita mualaf ini jika ayah yang sejatinya menjadi wali nikah ini belum masuk Islam, pertanyaannya siapa yang menjadi wali nikahnya wanita yang mualaf? Untuk memahami penjelasannya, simak ulasan selengkapnya berikut ini.

Menukil NU Online, dalam Islam, wali nikah merupakan salah satu rukun pernikahan. Kehadiran wali yang memenuhi syarat-syaratnya, yaitu Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan mempunyai sifat adil (tidak fasik), merupakan syarat sah akad nikah. Dengan demikian tidak boleh seorang non-Muslim menjadi wali pernikahan remaja yang telah menganut agama Islam. Syekh Taqiyuddin Al-Hishni menjelaskan:

لَا يجوز أَن يكون ولي الْمسلمَة كَافِرًا. قَالَ الله تَعَالَى: وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ. لكافر لَيْسَ بناصر لَهَا لاخْتِلَاف الدّين فَلَا يكون وليا

Artinya, “Tidak boleh seorang nonmuslim menjadi wali bagi wanita muslimah. Allah Ta’ala berfirman: “Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong (wali) bagi sebagian yang lain” (At-Taubah: 71) .

Oleh karena itu, nonmuslim tidak dapat menjadi penolong bagi seorang Muslimah karena perbedaan agama, sehingga ia tidak bisa menjadi walinya.” (Kifayatul Akhyar, [Damaskus, Darul Khair: 1994], halaman 356).

Kemudian jika ayah kandung wanita mualaf tidak memenuhi syarat menjadi wali nikah sebab tidak beragama Islam, maka kewaliannya berpindah kepada kakeknya. Jika kakeknya juga nonmuslim, maka kewalinya berpindah ke wali ab'ad (wali jauh), yaitu wali dalam garis kerabat selain ayah dan kakek.

Mereka secara berurutan adalah saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), dan anak laki-lakinya paman.

Apabila semua kerabatnya tidak ada satupun yang beragama Islam, maka kewalinya dipindahkan ke hakim. Syekh Jalaluddin Al-Mahalli menjelaskan:

وَلَا يَلِي الْكَافِرُ الْمُسْلِمَةَ وَلَا الْمُسْلِمُ الْكَافِرَةَ بَلْ يَلِي الْأَبْعَدُ. المُسْلِمُ فِي الْأُولَى وَالْكَافِرُ فِي الثَّانِيَةِ فَإِنْ فُقِدَ فَالْحَاكِمُ يُزَوِّجُ بِالْوِلَايَةِ الْعَامَّةِ

Artinya, “Seorang nonmuslim tidak dapat menjadi wali bagi wanita muslimah, begitu pula sebaliknya, seorang muslim tidak dapat menjadi wali bagi wanita nonmuslim, melainkan dalam kasus pertama (wanita muslimah), yang bertindak menjadi wali adalah wali ab’ad (wali dalam garis keturunan kerabat). selain ayah dan kakek) yang Muslim, dan dalam kasus kedua (wanita nonmuslim), wali nonmuslim yang bertindak sebagai walinya. Jika tidak ditemukan, maka hakim akan menikahkannya dengan otoritas perwalian umum yang dimilikinya."

Lebih lanjut Syekh Al-Qalyubi menjelaskan keterangan Al-Mahalli sebagai berikut:

Kata: (فإن فقد) أي الولي الخاص في المسألتين الحاكم ولو قاضي ضرورة يزوج فيهما Layanan Pelanggan yang Dapat Diatur Perlindungan Lingkungan dan Keamanan Rumah Tangga

Artinya, "Ungkapan Al-Mahalli: 'Jika tidak ditemukan wali', maksudnya adalah wali khusus, maka hakim meskipun hanya berstatus sebagai hakim dalam keadaan darurat, dapat menikahkan dalam kedua kasus tersebut dengan otoritas umum yang dimilikinya. Yang dimaksud hakim adalah orang yang memiliki otoritas kekuasaan di tempat tinggal mempelai wanita. Hakim Muslim menikahkan umat Islam, sedangkan hakim nonmuslim menikahkan umat nonmuslim.” (Kanzur-Raghibin dan Hasyiyah Al-Qalyubi wa Umairah, [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz III, halaman 228).

Dari uraian di atas dapat dipahami, wali nikah wanita mualaf adalah wali aqrabnya (ayah dan kakeknya) yang sudah beragama Islam. Jika mereka belum mendapatkan hidayah keislaman, maka wali nikahnya dipindahkan kepada wali ab'ad (wali jauh) yang beragama Islam.

Jika dari mereka tidak ada satupun yang beragama Islam, maka yang sah bertindak menjadi wali nikah adalah hakim yang mempunyai otoritas di tempat wanita mualaf tersebut tinggal. Dalam konteks Indonesia wali hakim yang dimaksud adalah Penghulu atau Kepala KUA Kecamatan setempat. Wallahu a'lam.