Opini tentang Korupsi di Indonesia: Nakhodot Jokowi dan Kehancuran yang Ditimbulkan
Prof. Dr. H. Eggi Sudjana, SH., M.Si
Penulis: Prof. Dr. H. Eggi Sudjana, SH., M.Si, Presiden TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) dan Mantan Ketua Umum PB HMI-MPO tahun 1986-1988
Satuju.com - Joko Widodo dapat dikatakan Nakhodot. Dugaan kuat ia melakukan crime and corruption dengan nilai fantastis, sadis, biadab, dan makar terhadap NKRI.
Membaca berita yang bersumber dari PPATK, disebutkan bahwa Jokowi dan kroninya diduga melakukan korupsi atau mencuri uang negara dalam jumlah yang sangat besar, yaitu sekitar Rp2.290 triliun lewat proyek strategis nasional (PSN).
Tidak mengherankan jika senior kami, Bang Hariman Siregar, pada 15 Januari 2025 menyebut Joko Widodo sebagai "jahat"! Sebab, keesokan harinya, pada 16 Januari 2025, PPATK mengungkap dalam berita bahwa 36,67% anggaran PSN telah dikorupsi, sehingga negara kehilangan Rp2.290 triliun.
Oleh karena besarnya kerugian negara, hukuman apa yang pantas diberikan kepada Jokowi dan kroninya? Layak bagi mereka untuk dihukum seberat-beratnya. Tidak hanya sekadar dipotong tangannya, tetapi juga dihukum setimpal sesuai dengan kejahatan mereka, sebagaimana yang dijelaskan dalam ajaran Islam. Bahkan, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) menempatkan kasus korupsi Joko Widodo di urutan kedua dari lima kepala negara terkorup di dunia ketika ia masih menjabat sebagai Presiden RI. Maka, insya Allah, hukuman bagi Joko Widodo akan terwujud sesuai kehendak Allah SWT.
Hukuman penjara bagi Joko Widodo sudah tidak relevan lagi. Seharusnya, hukuman potong tangan diterapkan jika memenuhi batas minimal pencurian, yaitu setara 84 gram emas. Jika harga emas diasumsikan Rp1 juta per gram, maka batas minimal pencurian adalah Rp84 juta. Jika terbukti mencuri lebih dari jumlah tersebut, maka sesuai dengan [QS. Al-Ma'idah: 38], hukuman potong tangan harus diberlakukan:
"Adapun laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana." (QS. Al-Ma'idah: 38)
Sementara itu, perbandingan kasus korupsi Jokowi dan kroninya dalam proyek PSN sangatlah fantastis, mencapai Rp2.290 triliun.
Jokowi dan Konsep Nakhodot dalam Al-Qur’an
Dalam perspektif penulis berdasarkan Al-Qur'an, sosok Jokowi berperilaku sesuai dengan istilah dalam Al-Qur’an, yaitu Nakhodot, sebagaimana disebut dalam QS. An-Nahl: 92:
"Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali... Allah hanya menguji kamu dengan hal itu, dan pasti pada hari Kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu." (QS. An-Nahl: 92)
Agar tidak menjadi fitnah bagi Joko Widodo dan keluarganya, marilah kita mencermati perilakunya yang jelas-jelas menunjukkan sifat Nakhodot. Misalnya, Indonesia sudah memiliki ibu kota negara, yaitu Jakarta, tetapi Jokowi justru mengalihkan ibu kota ke lokasi yang jauh di tengah hutan. Alih-alih memperbesar dan mempermegah Jakarta sebagai ibu kota negara, ia malah menghamburkan anggaran belasan triliun rupiah untuk pembangunan IKN, yang kini terbengkalai dan mangkrak. Bahkan, anggaran pembangunannya juga ditengarai menjadi objek korupsi.
Maka, Jokowi layak disebut sebagai Nakhodot selain sebagai terduga koruptor yang pantas mendapatkan hukuman setimpal.
Namun, publik dibuat bingung. Mengapa Jokowi yang terpapar kasus korupsi dan pengkhianatan terhadap rakyat justru diberikan hadiah tanah seluas lebih dari satu hektare? Ajaib! Semoga kelak keputusan ini ditinjau kembali dan tanah tersebut lebih bermanfaat jika digunakan sebagai istana anak yatim.
Omnibus Law dan Perilaku Nakhodot
Dalam aspek hukum, perilaku Jokowi juga menunjukkan ciri Nakhodot, misalnya melalui Omnibus Law. Ia berpikir bahwa dengan menggabungkan berbagai undang-undang ke dalam satu aturan besar, segalanya bisa berjalan lebih mudah. Namun, pada kenyataannya, Omnibus Law malah menjadi alat kekuasaan yang merugikan rakyat.
Salah satu contoh adalah pasal penghinaan presiden dalam KUHP lama yang pernah diajukan judicial review dan berhasil dihapus pada 2006. Namun, aturan tersebut kembali dihidupkan dalam Omnibus Law. Selain itu, pasal tentang pemalsuan ijazah yang seharusnya dihukum juga dihapuskan sanksinya dalam undang-undang yang baru.
Tidak hanya itu, Jokowi juga cawe-cawe dalam pencalonan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden, meskipun jelas melanggar Pasal 169 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengharuskan batas usia minimal 40 tahun. Gibran saat itu baru berusia 36 tahun, tetapi Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, tetap melegalkannya. Bahkan, Ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang juga paman Gibran, memuluskan keputusan tersebut, meskipun akhirnya dipecat karena membuat putusan yang tidak sah.
Semua ini semakin menguatkan bahwa Jokowi layak disebut sebagai Nakhodot.
Harapan kepada Presiden Prabowo
Saat ini, pada Januari 2025, sudah lebih dari 100 hari Prabowo menjabat sebagai Presiden RI ke-8. Berdasarkan ajaran Islam, seorang pemimpin harus menaati perintah Allah, sebagaimana disebut dalam QS. Al-Hajj: 41 dan QS. Al-Anbiya: 73:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat yang makruf serta mencegah dari yang mungkar." (QS. Al-Hajj: 41)
Oleh karena itu, Prabowo harus berhati-hati agar tidak mengikuti jejak Jokowi yang penuh dengan praktik Nakhodot. Jika tidak, ia bisa mengalami kehinaan di dunia dan di akhirat, serta mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah.
Sebagai langkah konkret, Prabowo dan pemerintahannya seharusnya menerapkan program Upgrading ASI (Al-Qur’an, Sholat, dan Infaq) bagi para menteri, anggota DPR, serta seluruh aparatur negara. Perintah ini sesuai dengan QS. Fatir: 29:
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur'an), melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi." (QS. Fatir: 29)
Program Upgrading ASI bukan hanya kehendak penulis, tetapi juga perintah Allah. Hasil penelitian dari Monash University di Melbourne, Australia, menunjukkan bahwa 73% rakyat Indonesia yang Muslim tidak bisa membaca Al-Qur'an, dan 75% tidak melaksanakan sholat. Padahal, pemimpin yang baik harus menuntun rakyatnya untuk berbuat baik, menegakkan sholat, membayar zakat, dan menjauhi kesyirikan.
Oleh karena itu, Presiden Prabowo harus segera menerapkan Upgrading ASI agar bangsa Indonesia bisa mencapai status IMTAQMAS (Indonesia Beriman, Taqwa, dan Emas). Insya Allah.

