Komparatif: Sejarah Hukum dan Moral dalam Perspektif Ilustrasi Kasus Cerobong Asap di Holland dan Peristiwa Now di Tanah Air

Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Pengamat Umum Hukum dan Poltiik)

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Pengamat Umum Hukum dan Poltiik)

Satuju.com - Narasi artikel ini substansial mengupas sejarah kesadaran hukum masyarakat di negara asal KUHP atau negara kolonial yang menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun. Bangsa yang sebelum merdeka disebut oleh Belanda sebagai Nederlandsch-Indië (Hindia Belanda) ini mengalami berbagai peristiwa sejarah. Dalam artikel ini, peristiwa sejarah yang dibahas terjadi sekitar abad ke-18 M, saat di Amerika masih berada pada zaman koboi. Peristiwa tersebut kemudian dikomparasikan dengan kondisi bangsa Indonesia dewasa ini, di era digitalisasi dan modern, dari sisi kesadaran hukum dan, khususnya, moralitas.

Sebuah perbandingan (perbandingan) kesadaran moralitas ini juga ditinjau dari sisi sosiologis dan antropologi sebagai ilmu sosial yang mempelajari manusia serta gejala-gejala perilaku sosial dan budaya. Dengan demikian, keduanya saling melengkapi dan berperan penting dalam memahami dinamika sosial serta adab-budaya.

Faktanya, perbandingan perilaku (kesadaran moral) di era kolonial di Negeri Belanda yang terjadi ratusan tahun yang lalu dengan zaman Indonesia modern menjelang 80 tahun kemerdekaan (2025) bukanlah kategori perbandingan yang “apple to apple”. Namun demikian, tetap relevan untuk dikaji.

Di sebuah negeri, Belanda, pada abad ke-18, terdapat sebuah distrik (setingkat kabupaten/kota keresidenan atau di atas kecamatan). Secara geografis, seluruh kecamatan (distrik) tersebut berada di wilayah perbukitan atau pegunungan yang berkelok-kelok. Wilayah ini juga dipenuhi padang rumput hijau nan elok serta berbagai macam bunga warna-warni yang tumbuh di sisi-sisi jalan. Panorama indah ini disertai udara yang sejuk, segar, dan sehat untuk dihirup, seperti yang umumnya dirasakan penduduk di daerah pegunungan, terutama ketika Belanda (Eropa) memasuki musim semi atau musim panas, serta saat bukan musim salju.

Suatu ketika, di sebuah desa/kecamatan dalam distrik tersebut, datanglah seorang pengusaha kaya raya yang membeli tanah dalam jumlah luas. Tak lama kemudian, banyak cerobong asap berdiri di kawasan tersebut. Setelah diketahui oleh penduduk desa, ternyata cerobong-cerobong tersebut adalah milik sebuah pabrik yang digunakan untuk proses pembakaran produksi komoditi perusahaan tersebut.

Pada suatu hari, pabrik mulai beroperasi. Semua cerobong mengeluarkan asap hitam dan tebal. Meskipun demikian, asap tersebut tidak mempengaruhi kesegaran udara penduduk desa hingga menyebabkan sesak napas. Hal ini disebabkan izin tata kota (distrik) telah menganalisis secara presisi bahwa "asap pabrik tidak akan mencemari wilayah organisasi penduduk".

Namun, asap tebal yang keluar dari cerobong menghalangi keindahan pemandangan alam perbukitan dan pegunungan yang dapat dinikmati oleh penduduk secara turun-temurun.

Maka, seluruh penduduk desa yang berpikiran sehat, jernih, dan penuh kesadaran mengajukan protes dalam bentuk perlawanan yang nyata. Meskipun cerobong asap berdiri di atas tanah milik sah perusahaan, serta memiliki izin pabrik yang lengkap dan absah sesuai regulasi (tanpa manipulasi pihak perusahaan dan pejabat administrasi distrik), penduduk tetap memperjuangkan hak mereka.

Perlawanan penduduk akhirnya dibawa ke ranah litigasi. Vonis Rechtbanken (lembaga peradilan distrik) memenangkan penduduk desa. Keberhasilan ini terjadi karena mereka bersatu dengan solid, radikal, dan patriotis. Padahal, tuntutan mereka bukan dalam bentuk korban fisik atau kerugian materi, melainkan sekadar kehilangan “rasa” dari keindahan panorama yang telah mereka nikmati turun-temurun.

Isi putusan badan presentasi menyatakan dan memerintahkan agar "seluruh cerobong asap dipindahkan ke bagian sisi areal tanah milik pengusaha pabrik sehingga, dalam perhitungan musim dan cuaca (angin), serta jarak pandang penduduk desa sebagai penggugat, asap hitam tidak lagi menghalangi penglihatan penduduk ke arah panorama perbukitan hijau (pegunungan).."

Lalu, di mana nilai edukatif dan komparasi yang disuguhkan penulis? Pendidikan dari sisi moralitas dalam peristiwa ini menunjukkan bahwa, setelah ratusan tahun kasus hukum "cerobong asap" di Belanda (sekitar tahun 1800), di Indonesia saat ini justru terjadi fenomena sebaliknya.

Di era modern, ketika hak atas tanah ulayat atau tanah adat di Rempang dirampas, dan di Tangerang, yang berbatasan langsung dengan Jakarta sebagai ibu kota negara, hak atas tanah warga dipaksa diperjualbelikan dengan harga yang tidak layak oleh pengusaha PIK 2, terjadi ketidakadilan. Laut sebagai hak kedaulatan negara juga dirampas, sehingga rakyat kesulitan mencari ikan karena wilayah laut dipagari dan pantai diurug. Kejahatan ini terjadi dengan pola brutal yang melibatkan para pejabat desa sebagai pion kejahatan, dengan dukungan dari pejabat tinggi di kementerian.

Dari sisi hukum, tindakan para pengusaha yang memperalat kelompok kecil penguasa diduga merupakan perbuatan makar (aanslag) dan transparan sebagai perilaku amoral. Ironisnya, kejahatan ini justru disaksikan oleh penguasa tinggi (menteri) hingga pemimpin tertinggi (presiden). Bukti nyata kejahatan ini terlihat dari diterbitkannya surat kavling tanah dalam bentuk HGU dan SHM, dengan nama-nama pemilik kavling yang mencurigakan. kejahatan mafia tanah PIK 2 begitu luar biasa, di mana kavling-kavling HGU dan SHM seolah-olah berada di tangan pemilik kedua melalui transaksi rekayasa, padahal fisik dari HGU dan SHM tersebut masih berupa laut yang nantinya akan diubah menjadi daratan melalui reklamasi.

Lalu, di mana letak perbandingannya antara dua kasus hukum yang terjadi? Kesadaran moralitas yang tinggi pada zaman kolonial Hindia Belanda sekitar tahun 1800 di negeri asal penjajah justru bertolak belakang dengan kondisi saat ini. Sementara Belanda yang berbentuk kerajaan dengan sistem imperialisme mampu menerapkan keadilan dalam kasus "cerobong asap", Indonesia, sebagai negara republik dengan dasar negara Pancasila, justru mengalami penurunan kesadaran hukum dan moralitas.

Maka, siap-siaplah NKRI dipimpin oleh makhluk super anti-adab dan putus asa moral di era digital yang semakin canggih. Sosok karakter lucu yang dijuluki "Fufu Fafa" bisa menjadi cerminan masa depan suram bangsa ini. Jika cita-cita "Bocah Fufu Fafa" yang hanya lulusan SMP berhasil, maka bangsa ini tidak perlu menyesali nasib buruknya. Ratusan juta manusia larut dalam kegelisahan dan "terkencing-kencing ketakutan" untuk turun mendukung aktivisme yang berjuang melawan kelompok kecil oligarki yang terang-terangan memperjuangkan harta benda dan laut.

Sementara itu, sebagian elite dengan kedok "aktivis pejuang" justru sibuk mengelabui saudara-saudaranya yang naif. Mereka mendirikan Partai Baru untuk mengalihkan isu politik, ekonomi, dan hukum. Pada akhirnya, demokrasi tipu-tipu ini dijalankan oleh segelintir yudikatif yang bersekongkol dengan para maling. Kejahatan oligarki ini telah mencapai puncaknya dengan menciptakan alih isu yang sistematis, sebuah karya gemilang dalam bentuk konspirasi politik kelas iblis.