RUU TNI Tuai Kritik: UGM dan UII Ingatkan Bahaya Otoritarianisme

Penolakan RUU TNI

Jakarta, Satuju.com - Penolakan terhadap RUU TNI diserukan Civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid Civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid karena dianggap akan menghidupkan kembali dwifungsi prajurit seperti era Orde Baru (Orba).

Mereka menggelar aksi di halaman depan Gedung Balairung, Selasa (18/3). Poster bertuliskan 'Tolak RUU TNI', 'Tolak Dwifungsi TNI' dan 'Kembalikan TNI ke Barak' menghiasi aksi tersebut.

Mereka juga menggelar mimbar bebas. Para peserta aksi berorasi satu per satu.

Pembacaan pernyataan sikap dipimpin oleh Dosen FIB UGM, Achmad Munjid; Dosen Hukum Tata Negara FH UGM, Herlambang Wiratraman; Dosen Sekolah Vokasi UGM, Yudistira Hendra Permana; Peneliti Pukat UGM, Hasrul Halili; Rektor UII, Fathul Wahid; dan Guru Besar Ilmu Komunikasi UII, Masduki.

"Artinya, tidak ada urgensinya membahas perubahan UU TNI. Apalagi jika prosesnya dilakukan secara tertutup dan tersembunyi di hotel mewah, bukan di rumah rakyat - Gedung DPR," bunyi pernyataan bersama tersebut.

“Proses ini secara terang-terangan mengingkari keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pentingnya partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan hukum. Publik dapat didengarkan, dipertimbangkan dan mendapatkan penjelasan dalam proses pembentukan hukum,” sambung pernyataan itu.

Massa aksi juga menyoroti Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU TNI yang secara substantif menyebutkan perluasan posisi jabatan bagi anggota TNI aktif, termasuk ranah peradilan.

Massa aksi melihat rancangan revisi UU TNI tersebut jelas justru akan mengancam independensi pengadilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI.

“Ini bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis, dan akan membawa bangsa ini kembali pada keterpurukan otoritarianisme seperti pada masa Orde Baru,” bunyi pernyataan tersebut.

UGM dan perwakilan UII menuntut pemerintah dan DPR membatalkan RUU TNI yang tidak transparan dan terkesan terburu-buru serta mengabaikan suara masyarakat.

“Mendesak seluruh insan akademik di seluruh Indonesia segera menyatakan sikap tegas menolak sikap dan perilaku yang menyerukan demokrasi, melanggar konstitusi, dan kembali menegakkan agenda reformasi,” bunyi poin tuntutan keempat.

Terakhir, mendorong reformasi dan mendukung upaya masyarakat menjaga agenda sipil dengan menjalankan pengawasan dan kontrol terhadap kinerja Pemerintah dan DPR.

Rektor UII membaca puisi tolak RUU TNI

Rektor UII Fathul Wahid menyatakan sikapnya menolak RUU TNI karena dianggap akan menghidupkan kembali dwifungsi prajurit seperti era Orde Baru (Orba).

Fathul tak berorasi, tapi ia memilih menyuarakan ketidakpuasan RUU TNI ini lewat bait-bait puisi berjudul 'Kami Malu Pak Dirman'.

Puisi mengutarakan perasaan malu dalam menjaga perjuangan Jenderal Besar Soedirman dari bayang-bayang dwifungsi TNI.

Engkau berjuang agar tentara secara taat norma, agar berkuasa kembali ke rakyat

Tapi kini ada yang lupa bahwa demokrasi membutuhkan sipil yang kuat.

Pak Dirman, pernah kau mengajari gerilya melawan musuh dengan keterbatasan untuk Indonesia yang paripurna.

Bukan untuk mencuri kesempatan mendapatkan jabatan.

Pak Dirman, kami takut langkahmu sia-sia.

Kala cita-citamu ditikam dari dalam, bila mereka lupa bahwa negeri ini harus dipimpin oleh suara rakyat sendiri, Pak Dirman, ajari kami lagi tentang perjuangan tanpa pamrih.

Perihal tentara yang mengabdi, bukan yang berkuasa atas negeri"

Selesai membacakan puisinya, Fathul mendapatkan penghargaan meriah dari peserta aksi yang juga menanyakan keberadaan Rektor UGM, Ova Emilia dalam mimbar bebas itu.

“Hidup rektor UII, hidup rektor UII. Mana rektor UGM, mana rektor UGM,” kata massa aksi secara bersamaan.

Ova memang tak terlihat sejak aksi dimulai, meski beberapa dosennya terlihat ikut serta.

Terpisah, Sekretaris Universitas UGM, Andi Sandi Antonius menyebut hari ini Ova tengah berada di Jakarta karena harus berdiskusi dengan majelis wali amanat (MWA) kampusnya.

"Kalau undangan saya belum terima, hanya flyer saja yang disampaikan. Jadi, undangannya itu kan kepada mahasiswa dan dosen, tetapi secara spesifik kepada ibu rektor, nggak," kata Andi Sandi saat dihubungi.