Mendengar Kata "abal-abal": Bisa Jadi, Label Itu Adalah Satu-satunya "karya" yang Pernah Mereka Hasilkan

Pajar Saragih. (Poto/ist).

Penulis: Pajar Saragih 

Satuju.com - Di sebuah negeri yang penuh dengan narasi, ada sekelompok manusia yang begitu lihai dalam merangkai kata, namun hanya untuk satu tujuan: menuduh. Mereka adalah para penjaga gerbang "abal-abal," sosok yang selalu siap siaga, bukan untuk mencari berita, melainkan untuk melabeli setiap wartawan lain yang memiliki karya.

Mereka tak pernah menghabiskan malam-malam panjang untuk menyusun laporan investigasi. Tangan mereka steril dari coretan memo, dan pikiran mereka bebas dari beban mencari kebenaran. Yang mereka tahu hanyalah satu mantra sakral, yang selalu mereka bisikkan ke mana-mana: "Itu jurnalis abal-abal."

Ironisnya, saat kita mencoba mencari jejak karya mereka, yang kita temukan hanyalah gurun pasir. Tak ada artikel, tak ada reportase, bahkan sebuah berita singkat pun tak ada. Portofolio mereka hanyalah sebuah koleksi foto bersama para pejabat yang tersenyum tulus, seolah-olah momen itu adalah puncak dari dedikasi mereka pada pers.

Mereka adalah seniman retorika yang ulung, yang menciptakan realitasnya sendiri. Dalam dunia mereka, menulis berita itu kuno. Yang modern adalah berbicara, menghakimi, dan memvonis. Mereka menciptakan hierarki imajiner di mana mereka berada di puncak, dan sisanya, semua orang yang berkeringat menulis, berada di bawah.

Jadi, ketika Anda mendengar kata "abal-abal" terucap dari mulut mereka, tersenyumlah. Sebab, bisa jadi, label itu adalah satu-satunya "karya" yang pernah mereka hasilkan.