Negara Wajib Hadir Lindungi Pemegang Izin Resmi, Tolak Tindakan Anarkis di Krueng Woyla

Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (FORBINA), Muhammad Nur, S.H.(Poto/ist).

Meulaboh, (Aceh), Satuju.com - Muhammad Nur ketua FORBINA menyikapi perkembangan situasi pasca rapat dengar pendapat (RDP) antara DPRK Aceh Barat dengan pihak terkait mengenai aktivitas pertambangan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Woyla, perlu ditegaskan bahwa perusahaan yang telah memiliki legalitas resmi dari negara wajib memperoleh perlindungan, kepastian hukum, dan rasa aman dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Diketahui, Rabu (24/9/2025) DPRK Aceh Barat merekomendasikan penutupan sementara aktivitas dua perusahaan tambang, yakni PT Megalanic Garuda Kencana (MGK) dan PT Koperasi Putra Putri Aceh (KPPA). Selanjutnya, pada tanggal 3–5 Oktober 2025, Tim Pansus DPRK bersama SKPK terkait, Balai Wilayah Sungai Sumatera I, Dinas ESDM Aceh, unsur TNI–Polri, serta perwakilan masyarakat dan media melaksanakan kunjungan lapangan ke lokasi IUP kedua perusahaan tersebut.

Namun sangat disayangkan, dalam kunjungan tersebut terjadi tindakan anarkis dari sekelompok masyarakat yang melempari dan merusak fasilitas kapal keruk milik PT MGK. Tindakan tersebut jelas tidak dapat dibenarkan dalam negara hukum, apalagi dilakukan terhadap perusahaan yang memiliki izin resmi (IUP) dari pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Negara melalui pemerintah daerah dan aparat penegak hukum (APH) harus hadir dan tegas melindungi pemegang izin sah dari tindakan sewenang-wenang dan premanisme. Apabila terdapat pihak-pihak yang tidak sepakat terhadap aktivitas pertambangan, seharusnya menyalurkan aspirasi melalui mekanisme hukum yang benar, seperti mengajukan gugatan atau keberatan ke pengadilan," jelas Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (FORBINA), Muhammad Nur, S.H kepada redaksi satuju.com. Minggu (5/10/2025).

Kehadiran hukum merupakan fondasi utama agar investasi dan kegiatan usaha di daerah tetap berjalan dengan baik tanpa mengorbankan keamanan dan ketertiban masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat menegakkan prinsip kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak, sekaligus mencegah terjadinya konflik horizontal yang justru merugikan masyarakat dan daerah.

Dengan demikian, penyelesaian perbedaan pandangan terhadap aktivitas pertambangan harus dilakukan melalui jalur konstitusional, bukan melalui tindakan kekerasan atau perusakan fasilitas, agar citra Aceh sebagai daerah yang kondusif bagi investasi dan penegakan hukum tetap terjaga," tutup FORBINA.