Dampak Kepemimpinan Ekonomi dan Bayang-Bayang Oligarki
Ilustrasi. (poto/net).
Oleh: Gus Jomplang, Jurnalis Junior (Bukan Ekonom)
Satuju.com - Beberapa gejala sosial akhir-akhir ini memperlihatkan tanda-tanda tekanan ekonomi yang semakin berat di lapisan masyarakat bawah maupun menengah.
Pertama, seorang pemilik warung kecil yang biasa memperoleh keuntungan bersih sekitar Rp200 ribu per hari, kini hanya mampu membawa pulang Rp30 ribu. Ia terpaksa beralih menjadi sopir taksi daring demi membayar biaya sekolah anaknya di pesantren yang sudah menunggak lima bulan.
Kedua, pengamatan di sebuah rumah makan besar di kawasan BSD menunjukkan perubahan drastis. Biasanya, setiap akhir pekan parkiran penuh sejak pagi hingga sore. Namun, Sabtu lalu, dari pukul 10.00 hingga 17.00, hanya lima orang pelanggan yang datang.
Ketiga, seorang pengusaha bengkel keturunan Tionghoa di kawasan Gunung Sahari mengeluhkan omzet yang merosot tajam. Dari biasanya Rp14–16 juta per hari, kini hanya berkisar Rp400–600 ribu. “Bagaimana saya membayar gaji mekanik dan karyawan?” keluhnya.
Fenomena-fenomena kecil seperti ini bisa jadi potongan cermin dari situasi ekonomi yang lebih luas: daya beli masyarakat melemah, sirkulasi uang menurun, dan roda usaha mikro hingga menengah tersendat. Bila kondisi ini terjadi secara meluas, secara sosial-politik, negara memasuki zona rawan.
Warisan Kepemimpinan Ekonomi dan Bayang Oligarki
Tidak bisa dipungkiri, sepuluh tahun terakhir menghadirkan model pembangunan yang cenderung berorientasi pada pertumbuhan semu—bertumpu pada proyek-proyek besar, tetapi tidak menetes ke akar ekonomi rakyat. Sektor riil yang menjadi denyut kehidupan masyarakat kecil justru melemah.
Banyak pihak menilai bahwa struktur ekonomi nasional terlalu terpusat pada segelintir kelompok konglomerat atau oligarki bisnis yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Ketimpangan ekonomi makin menganga, sementara pengusaha kecil berjuang sekadar bertahan hidup.
Kondisi seperti ini, bila dibiarkan, dapat menimbulkan ketegangan sosial dan kecemburuan ekonomi yang berbahaya. Dalam sejarah, revolusi sosial kerap lahir bukan semata karena kemiskinan, melainkan karena ketimpangan dan rasa ketidakadilan yang menumpuk lama.
Apa yang Harus Dilakukan Negara
Negara tidak boleh tunduk pada tekanan ekonomi dari kelompok kuat, siapa pun mereka. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakan nyata kepada rakyat melalui langkah-langkah konkret:
Audit dan redistribusi aset tidak produktif yang dikuasai oleh segelintir korporasi besar;
Penegakan hukum tegas terhadap korupsi ekonomi, tanpa pandang bulu;
Pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama UMKM, melalui pembiayaan murah dan akses pasar yang adil;
Keterbukaan dialog nasional dengan para pakar lintas disiplin, tokoh masyarakat, akademisi, dan pemuka agama, bukan sekadar tokoh elitis yang dekat dengan kekuasaan.
Tindakan cepat sangat diperlukan. Jika negara gagal membaca gejala sosial yang berkembang, bukan tidak mungkin kemarahan rakyat akan menjelma menjadi bentuk perlawanan sosial yang sulit dikendalikan.
Sejarah mengajarkan, revolusi sosial sering lahir dari keputusasaan rakyat yang merasa ditinggalkan. Karena itu, mencegah jauh lebih baik daripada menunggu letupan.
Penutup
Krisis kepercayaan terhadap elite ekonomi dan politik harus dijawab dengan keberanian moral dan kebijakan yang berpihak. Jangan sampai transisi pemerintahan hanya menjadi kelanjutan dari pola lama: menguatnya segelintir kelompok, sementara rakyat banyak terus terhimpit.
Negara harus berdiri di pihak yang benar—pihak rakyat. Jika tidak, maka sejarah akan menulis babak baru: bahwa kekuasaan yang takut menindak ketidakadilan pada akhirnya ikut tersapu oleh gelombang perubahan yang diciptakannya sendiri.

